Pengertian, indikator dan Faktor Ketahanan Pangan Nasional

Pengertian Ketahanan Pangan, Faktor Ketahanan Pangan Nasional, Ketahanan Pangan Di Indonesia, Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga


Pada pembahasan  tentang Pengertian, indikator dan Faktor Ketahanan Pangan Nasional, kita akan mempelajari Pengertian Ketahanan Pangan, Faktor Ketahanan Pangan Nasional, Ketahanan Pangan Di Indonesia, Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga, serta Tantangan Dan Hambatan Serta Solusi Dalam Memenuhi  Ketahanan Pangan Di Indonesia.

 

Apa Pengertian Ketahanan Pangan? Menurut Undang-Undang RI no 18 tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Kondisi suatu wilayah atau Negara dikatakan sebagai wilayah atau Negara makmur dan maju apabila ketahanan pangannya MANTAP, Negara yang pangannya terpenuhi. Pangan adalah salah satu dari 3 kebutuhan primer manusia. Pangan dibutuhkan oleh manusia untuk menunjang kehidupannya, karena di dalam bahan pangan tersebut terdapat gizi dan mineral yang dibutuhkan oleh manusia untuk beraktivitas.

 

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan. Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya.

 

Berdasarkan UU RI no 18 tahun 2012 Ketahanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

 

Ketahanan pangan (food security) mencakup banyak aspek sehingga dapat diinterpretasikan dengan banyak cara (Rachman dan Ariani, 2002). Ketahanan pangan diawali dari pertanyaan "dapatkah dunia memproduksikan pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup". Secara luas pengertian ketahanan pangan adalah terjaminnya akses pangan buat segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Suhardjo, 1996; Soetrisno, 1997).

 

Simatupang (1999) dalam Rachman dan Ariani, (2002), menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat ditinjau dari level tingkat (1) global, (2) nasional, (3) regional, (4) komunitas lokal, (5) rumah tangga dan (6) individu, yang merupakan suatu rangkaian sistem hierarkis. Dalam perumusan kebijakan maupun kajian empiris ketahanan pangan, penerapan konsep ketahanan pangan tersebut perlu dikaitkan dengan rangkaian sistem hirarki sesuai dimensi sasaran mulai dari tingkat individu, rumah tangga, masyarakat/komunitas, regional, nasional maupun global.

 

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi terdiri atas berbagai subsistem (Maleha dan Adi Sutanto, 2006). Subsistem utamanya atau komponen utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan / akses pangan, dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem/ komponen utama tersebut. Ketiga subsistem/ komponen utama tersebut adalah sebagai berikut.

a) Ketersediaan pangan yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Jadi ketersediaan pangan dengan kata lain adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar.


Pangan yang tersedia di suatu wilayah berasal dari produksi lokal sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

·          Kebijakan Pemerintah

·          Mutu dan luas lahan

·          Cara/praktek pertanian

·          Sarana Produksi

·          Faktor lingkungan ( cuaca/iklim )

·          Peranan Sosial dan

·          Transportasi

 

Ketersediaan pangan berhubungan dengan suplai pangan melalui produksi, distribusi, dan pertukaran. Produksi pangan ditentukan oleh berbagai jenis faktor, termasuk kepemilikan lahan dan penggunaannya; jenis dan manajemen tanah; pemilihan, pemuliaan, dan manajemen tanaman pertanian; pemuliaan dan manajemen hewan ternak; dan pemanenan.

 

Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan dapat dilihat dari jumlah stok pangan yang dapat disimpan setiap tahun, dalam hal ini pangan bisa lebih dispesifikan sebagai beras. Selain itu bisa juga dilihat dari jumlah produksi pangan misalnya beras, serta hal lain yang dapat mempengaruhi produksi pangan, seperti luas lahan serta produktivitas lahan. Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor.

 

b) Distribusi pangan atau akses pangan yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi (daya beli masyarakat) tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi pangan), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. Jadi akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi.

 

Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. Pembangunan sub-sistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan.

 

Jadi pasokan pangan merata keseluruh wilayah, harga stabil dan terjangkau secara bekelanjutan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

·          Jumlah dan mutu pangan

·          Sarana dan Prasarana Transportasi

·          Jarak antar wilayah, dan

·          Rantai distribusi

·          Penyerapan /pemanfaatan pangan yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita.

 

Jadi subsistem ini  menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal, dengan kata lain pemanfaatan  pangan  adalah  kemampuan  dalam  memanfaatkan  bahan  pangan dengan  benar  dan  tepat  secara  proporsional.  Konsumsi  pangan  hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Pemerintah harus bisa mengontrol agar harga pangan masih terjangkau untuk setiap individu dalam mengaksesnya, karena kecukupan ketersediaan pangan akan dirasa percuma jika masyarakat tidak punya daya beli yang cukup untuk mengakses pangan. Oleh karena itu faktor harga pangan menjadi sangat vital perannya dalam upaya mencukupi kebutuhan konsumsi pangan. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan  keharmonisan  dari  ketiga  subsistem  tersebut.  Pembangunan  sub- sistem konsumsi bertujuan menjamin akses setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi. 


c) Konsumsi. Penggunaan / konsumsi yaitu : rumah tangga mampu mengakses cukup pangan dan mengelola konsumsi sesuai kaedah gizi dan kesehatan yang dipengaruhi oleh:

·          Pola makanan

·          Distribusi dalam keluarga

·          Jumlah keluarga

·          Pangan yang tercecer/pangan hilang

·          Keadaan kesehatan

·          Sosial budaya

·          Iklim/cuaca

·          Akseptabilitas pangan

·          Penampilan (warna, bau, rasa , bentuk)

·          Pengaruh mass media

·          Status sosial

·          Pengolahan pangan

 

Konsep ketahanan pangan lainnya yang mengkaitkan beberapa level dan melihat dari sisi keterkaitan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tesebut menjelaskan bahwa faktor ketahanan pangan meliputi aspek (1) produksi, (2) kesehatan, (3) penyimpanan, (4) pengangkutan, dan (5) kredit. Hubungan keterkaitan tersebut menjadi penentu.

 

Menurut Yustika (2008), dalam kaitan dengan ketahanan pangan, pembicaraan harus dikaitkan dengan masalah pembangunan pedesaan dan sektor pertanian. Pada titik inilah dijumpai realitas bahwa kelembagaan di pedesaan setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu (1) kelembagaan penguasaan tanah, (2) kelembagaan hubungan kerja, dan (3) kelembagaan perkreditan.

 

Tanah/lahan masih merupakan aset terpenting bagi penduduk pedesaan untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sedangkan relasi kerja akan menentukan proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan. Terakhir, aspek perkreditan/pembiayaan berperan amat penting sebagai pemicu kegiatan ekonomi di pedesaan. Ketiga pilar / kelembagaan tersebut (atau perubahannya) akan amat menentukan keputusan petani sehingga turut mempengaruhi derajat ketahanan pangan.

 

Beberapa konsep ketahanan pangan di atas menunjukkan bahwa modal produksi dasar ketahanan pangan adalah lahan, terlebih bila dikaitkan dengan kedaulatan pangan. Bagi Indonesia yang merupakan negara agraris tropis, keberadaan lahan masih menjadi faktor sangat penting sebagai media produksi pangan. Lahan juga menjadi aset bagi modal tenaga kerja di sektor pertanian secara turun menurun dari masa ke masa membentuk suatu kebudayaan agraris.

 

Apa Faktor Ketahanan Pangan Nasional? Sejumlah faktor dianggap berperan penting sebagai faktor penentu ketahanan pangan nasional. Faktor-faktor tersebut meliputi (1) lahan, (2) infrastruktur, (3) teknologi dan sumberdaya manusia, (4) energi, (5) dana, (6) lingkungan fisik, (7) relasi kerja, dan (8) ketersediaan input lainnya. Berikut penjelasan masing-masing faktor (Tambunan, 2008).

 

1) Lahan

Menurutnya Badan Pertanahan Nasional (BPN), Rata-rata tahunan konversi lahan sawah secara nasional sebesar 100.000 ha. Seluas 35.000 ha diantaranya adalah lahan sawah beririgasi. Dengan asumsi konversi yang sama, diperkirakan pada tahun 2030 Indonesia akan kehilangan 2,42 juta ha lahan sawah (Prabowo, 2007).

Keadaan tersebut diperparah dengan lemahnya pemerintah dalam melindungi lahan milik petani miskin yang dijual kepada orang kaya atau pengusaha besar. Petani yang sudah kehilangan tanahnya menjadi buruh-buruh tani bagi pemilik- pemilik baru tersebut jika lahan tersebut tetap untuk pertanian. Bila lahan tersebut tidak lagi untuk pertanian, petani miskin cenderung akan berpindah ke usaha lain non pertanian.

Selain konversi lahan dan penguasaan lahan oleh orang yang tidak berkecimpung di bidang pertanian, laju degradasi lahan juga merupakan masalah serius. Hal ini disebabkan karena menurunnya tindakan konservasi lahan sebagai akibat dari menurunnya orientasi ke lahan pertanian. Keadaan ini akan mendorong penurunan kesuburan lahan. Prabowo (2007) melihat bahwa masalah kesuburan atau kejenuhan tingkat produktivitas lahan (levelling off) pertanian di Indonesia semakin serius. Ada suatu korelasi positif antara tingkat kesuburan lahan dan tingkat produktivitas pertanian. Perlu adanya solusi penerapan secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria, proses sertifikasi lahan pertanian harus dipercepat atau dipermudah, rencana tata ruang harus melindungi lahan pertanian yang produktif dan subur, dan pembelian lahan petani secara ”paksa” atau untuk tujuan- tujuan yang sebenarnya tidak terlalu perlu (seperti lapangan golf, apartemen mahal, pertokoan mewah) harus dihentikan.

 

2) Infrastruktur

Irigasi dan waduk merupakan bagian terpenting dari infrastruktur pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang baik secara kuantitas tetapi juga kualitas, dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian tanaman pangan. Perlu adanya solusi pembangunan infrastruktur perdesaan diseluruh pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah sentra pertanian. Termasuk menambah irigasi dan waduk serta yang rusak segera diperbaiki.

 

3) Teknologi dan Sumber Daya Manusia

Teknologi dan SDM merupakan faktor produksi yang saling melengkapi. Dapat dipastikan bahwa pemakaian teknologi dan input modern tidak akan menghasilkan produk yang optimal apabila kualitas pengetahuan atau wawasan petani rendah. Pada umumnya masyarakat petani di Indonesia memiliki pendidikan formal yang rendah. Pendidikan formal yang rendah berakibat kurang terbukanya wawasan dan lambannya penerapan inovasi baru.

Beberapa persoalan terkait dengan kualitas SDM yang berpengaruh pada produksi pertanian adalah rendahnya pengetahuan petani terhadap perubahan iklim atau terbatasnya akses informasi perkiraan iklim. Di masa lampau sebenarnya petani Jawa punya kemampuan dalam prediksi iklim yang dikenal sebagai pranoto mongso. Namun dengan adanya revolusi hijau dengan benih yang relatif adaptif dalam berbagai iklim, pengetahuan pranoto mongso sudah memudar. Demikian juga dengan keahlian menyiapkan benih sendiri dengan bibit yang menyesuaikan kondisi iklim, juga sudah hilang.

 

Memudarnya pengetahuan lokal yang dimiliki petani tidak selalu diikuti oleh kemampuan memahami pengetahuan modern bidang pertanian. Misalnya saja relatif rendahnya jumlah traktor per ha di Indonesia memunculkan pertanyaan disebabkan karena rendahnya petani dalam beradaptasi dengan teknologi. Hal ini terjadi karena rendahnya pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga sulit untuk segera menerima inovasi baru. Namun demikian ada kemungkinan disebabkan faktor lain seperti biaya pemakaian dan pemeliharaannya yang mahal lahan yang dikerjakan kecil sehingga traktor menjadi tidak efisien, serta hambatan budaya. Perlu adanya solusi berupa pemberdayaan petani lewat pelatihan, penyuluhan, dan bantuan teknis secara intensif. Peran perguruan tinggi dan lembaga litbang setempat sangat penting.

 

4) Energi

Arti penting energi bagi kegiatan pertanian melalui dua peran. Peran pertama adalah secara langsung dan yang kedua secara tidak langsung. Secara langsung energi berupa listrik atau BBM yang digunakan oleh petani dalam kegiatan bertaninya, misalnya dalam menggunakan traktor. Untuk peran teknologi yang tidak langsung adalah energi yang digunakan oleh pabrik sarana produksi pertanian seperti pabrik pupuk maupun pabrik yang membuat input pertanian lainnya. Perlu adanya solusi dalam melaksanakan kebijakan kenaikan harga energi / pemotongan subsidi energi akibat harga BBM yang terus naik. Subsidi energi terhadap petani dan sektor-sektor yang mendukung pertanian seperti pabrik pupuk dan transportasi harus dipertahankan atau diadakan. Hal ini bisa dalam bentuk antara lain harga energi yang murah bagi petani atau dana khusus yang diberikan langsung ke petani. (5). Dana

 

Di Indonesia investasi sektor pertanian selalu paling sedikit dalam memperoleh kredit perbankan. Data sensus penduduk tahun 2003 menunjukkan bahwa 85,43% petani membiayai kegiatan bertani dengan menggunakan uang sendiri. Ada dua alasan perbankan enggan memberikan kredit kepada petani terutama petani-petani makanan pokok seperti padi/beras. Alasan pertama adalah karena pertanian padi bukan merupakan suatu bisnis yang menghasilkan keuntungan besar. Panen yang menghasilkan keuntungan besar sangat jarang karena harga beras tidak bisa naik terlalu tinggi. Alasan kedua adalah tidak adanya aset yang bisa digunakan sebagai jaminan kredit. Perlu adanya solusi di perbankan yang diberi semacam insentif untuk memperluas akses petani ke kredit perbankan, atau dengan cara pengadaan dana khusus.

 

6). Keadaan lingkungan fisik

Pemanasan global sebagai salah satu pemicu perubahan iklim berperan dalam menyebabkan krisis pangan mengingat pertanian pangan di Indonesia masih sangat mengandalkan pada pertanian sawah yang berarti sangat memerlukan air yang tidak sedikit (Samhadi, 2007). Sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia sangat dirugikan dengan pemanasan global. Diantara kerugian tersebut adalah adanya kejadian kemarau berkepanjangan, meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim, naiknya risiko banjir akibat curah hujan yang tinggi, dan hancurnya keanekaragaman hayati. Dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air karena perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam (Samhadi, 2007). Perlu adanya solusi berupa usaha-usaha mengurangi pemanasan global harus sudah merupakan salah satu prioritas pembangunan jangka panjang ekonomi pada umumnya dan sektor pertanian pada khususnya. Disini termasuk penggundulan hutan, pencemaran air sungai dan laut, pembangunan perumahan di tanah-tanah resapan air harus dihentikan.

 

7) Relasi Kerja

Relasi kerja akan menentukan proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan. Dalam kata lain, pola relasi kerja yang ada di sektor pertanian akan sangat menentukan apakah petani akan menikmati hasil pertaniannya atau tidak. Untuk mengidentifikasi bagaimana pola relasi kerja yang berlaku selama ini di Indonesia bisa dilakukan dengan memakai beberapa indikator, diantaranya nilai tukar petani (NTP).

NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa traktor, dan lainnya. Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani. Kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Jadi besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan oleh besar kecilnya NTP.

Sistem agrobisnis di Indonesia menjadikan nilai NTP petani cenderung rendah. Hal ini terjadi karena pada sisi suplai yang berhubungan dengan pasar input pertanian seperti seperti pupuk dan pestisida, petani menghadapi kekuatan monopolistik. Sementara pada sisi penawaran yang berhubungan dengan pasar output yaitu penjualan hasil pertanian, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Perlu adanya solusi kebijakan penetapan harga pertanian, sistem perpajakan, dan lainnya harus menciptakan fair market yang juga menguntungkan petani.

 

8). Ketersedian Input Lainnya

Tanpa ketersediaan sarana produksi pertanian dalam jumlah memadai dengan kualitas baik dan relatif murah, sulit diharapkan petani, yang pada umumnya miskin, akan mampu meningkatkan produksi komoditas pertanian. Salah satu input pertanian yang cukup penting adalah pupuk. Namun harga pupuk yang meningkat terus merupakan hambatan serius bagi pertumbuhan pertanian di Indonesia. Pemerintah selama ini kelihatan kurang konsisten dalam usahanya memenuhi pupuk bersubsidi untuk petani. Dikurangi atau dihapuskannya subsidi pupuk tentu berdampak langsung pada kenaikan biaya produksi padi, karena pupuk termasuk salah satu komponen utamanya. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa salah satu penyebab sulitnya petani mendapatkan pupuk karena masalah distribusi. Selain itu masalah birokrasi sering sebagai penyebab kelangkahan pupuk di pasar eceran pada saat petani sangat membutuhkan. Perlu adanya solusi untuk menghindari kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh praktek-praktek penimbunan atau kemacetan produksi.

 

Bagaimana Ketahanan Pangan Di Indonesia? Eksistensi suatu bangsa akan rapuh bila pemerintah tidak mampu menangani dan menggerakkan rakyatnya untuk mengadakan pangan (Wahono, 2008). pangan merupakan kebutuhan utama bagi manusia. di antara kebutuhan yang lainnya, pangan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi agar kelangsungan hidup seseorang dapat terjamin. indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang dulu hingga sekarang masih terkenal dengan mata pencaharian penduduknya sebagian petani atau bercocok tanam.

 

Penyediaan pangan dengan membeli ke negara lain, sangat tergantung dari fluktuasi ketersediaan serta harga di tingkat internasional, dan tentunya ketersediaan dana untuk membeli. Ketergantungan penyediaan pangan dengan cara import akan sangat melemahkan secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Impor pangan menjadi ancaman bagi ketahanan bangsa sekaligus memundurkan rakyat lokal yang bekerja sebagai produsen, pengolah, pengangkut, dan pedagang pangan. Belum lagi terkait dengan keamanan atau kesehatan pangan.

 

Data Agustus 2020 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan bahwa penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 38,23 juta orang atau 29,76 % dari jumlah penduduk bekerja yang jumlahnya 128,45 juta orang (BPS). Sementara kontribusi sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontribusi sekitar 13,28% sepanjang tahun 2021 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (BPS). Selain itu kontribusi sektor pertanian terhadap PDB juga mengalami penurunan, karena tahun 1991 yang masih sebesar 22% (Bisnis.tempo.co, 2017(1)). Dari data tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja yang bergantung pada sektor pertanian masih cukup banyak, sementara kontribusi sektor pertanian relatif kecil. Disisi lain, jumlah penduduk Indonesia hasil sensus tahun 2020 sebesar 270.203.917 jiwa dengan laju pertumbuhan rata- rata nasional sebesar 1,25% antara 2010 – 2020 (Nugraha, 2014).

 

Uraian di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia cukup besar dan terus meningkat, dan sebaliknya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian relatif rendah dan cenderung menurun. Hal ini menjadikan persoalan penyediaan pangan perlu ditangani secara serius oleh Indonesia, mengingat pangan merupakan kebutuhan pokok untuk kehidupan sehari-harinya penduduknya. Ketersediaan kebutuhan pangan bagi negara sampai perorangan dikenal sebagai ketahanan pangan. Akan tetapi untuk menjaga ketahanan pangan, sejak tahun 1990-an Pemerintah Indonesia melakukan impor pangan dengan alasan lebih hemat dan efisien dari pada produksi sendiri (Wahono, 2008). Lebih lanjut disebutkan bahwa kebijakan tersebut bersumber dari International Monetary Fund (IMF) pasca krisis moneter. Memenuhi ketahanan pangan dengan mengandalkan impor akan menjadi ancaman bagi kesejahteraan kehidupan petani lokal. Penurunan kontribusi pertanian dalam perekonomian bisa jadi imbas dari kebijakan impor komoditas pertanian. Keadaan tersebut akan menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan di Indonesia. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (UURI no. 18 tahun 2012).

 

Ketahanan pangan menjamin keterpenuhan setiap individu penduduk Indonesia mendapatkan akses pangan yang berkecukupan. Kedaulatan pangan menjamin petani Indonesia mampu berproduksi untuk memenuhi kesejahteraannya. Keduanya harus dilaksanakan secara selaras, karena Ketahanan pangan yang dibangun berlandaskan kedaulatan pangan adalah penopang ketahanan bangsa. Santosa (2008) menegaskan bahwa krisis pangan suatu bangsa ternyata bermuara pada situasi tidak berdaulat atas pangan. Tabel 1 Berikut menyajikan karakteristik kedaulatan dan ketahanan pangan.

 

Tabel 1. Karakteristik Kedaulatan Dan Ketahanan Pangan

Indikator

Kedaulatan Pangan

Ketahanan Pangan

Lingkup

Nasional

Rumah tangga dan Individu

Sasaran

Petani

 

Manusia

Strategi

Pelarangan Impor

Peningkatan   ketersediaan   pangan,   akses pangan, dan penyerapan pangan

Output

Peningkatan produksi pangan (dengan perlindungan pada petani)

Status  gizi  (penurunan kelaparan,  gizi kurang, dan gizi buruk)

Outcame

Kesejahteraan petani 

Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)

 

Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mendeskripsikan kondisi ketahanan pangan Indonesia yang ditunjukkan pada gambar 2, dimana Kabupaten/kota diklasifikasikan dalam 6 kelompok ketahanan pangan dan gizi berdasarkan pada tingkat keparahan dan penyebab dari situasi ketahanan pangan dan gizi. Kabupaten/kota di Prioritas 1, 2 dan 3 merupakan wilayah rentan pangan dengan klasifikasi Prioritas 1 tingkat rentan pangan tinggi, Prioritas 2 rentan pangan sedang, dan priroritas 3 rentan pangan rendah. Kabupaten/kota di Prioritas 4, 5, dan 6 merupakan wilayah tahan pangan dengan klasifikasi prioritas 4 tahan pangan rendah, prioritas 5 tahan pangan sedang, sedangkan prioritas 6 yaitu tahan pangan tinggi.

 

Hasil analisis FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) dengan indikator yang digunakan dalam penyusunan FSVA merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Pemilihan indikator didasarkan pada: (i) keterwakilan 3 pilar ketahanan pangan (ii) tingkat sensitifitas dalam mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; dan (iii) ketersediaan data tersedia secara rutin untuk periode tertentu yang mencakup seluruh wilayah kabupaten/kota. Pada tahun 2018 menunjukkan bahwa kabupaten rentan pangan Prioritas1-3 sebanyak 81 kabupaten dari 416 kabupaten (19%) yang terdiri dari 26 kabupaten (6%) Prioritas 1; 21 kabupaten (5%) Prioritas 2; dan 34 kabupaten (8%) Prioritas 3. Kabupaten prioritas 1 tersebar di 17 kabupaten di Provinsi Papua, 6 Kabupaten di Provinsi Papua Barat, 2 kabupaten di Provinsi Maluku, dan 1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Karakteristik kabupaten rentan pangan ditandai dengan rasio konsumsi terhadap ketersediaan pangan tinggi, persentase balita stunting tinggi, serta angka kemiskinan yang tinggi. Sementara itu, Kota Rentan Pangan Prioritas 1-3 sebanyak 7 Kota dari 98 kota di Indonesia (7,14%). Pada wilayah perkotaan, terdapat 2 kota (2%) Prioritas 1, yaitu Kota Subulussalam di Aceh dan Kota Tual di Maluku; 2 kota (2%) Prioritas 2, yaitu Kota Gunung Sitoli di Sumatera Utara dan Kota Pagar Alam di Sumatera Selatan; serta 3 kota (3%) Prioritas 3, yaitu Kota Tanjung Balai di Sumatera Utara, Lubuk Linggau di Sumatera Selatan, dan Tidore Kepuluan (Maluku Utara). Karakteristik kota rentan pangan ditandai dengan rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan yang tinggi, akses air bersih yang rendah, dan balita stunting yang tinggi.

 

Fokus lokasi penanganan kerentanan pangan di wilayah kabupaten diprioritaskan pada:

  • Kabupaten-kabupaten  yang terletak  di  Kawasan  Indonesia  Timur  yang memiliki daerah Prioritas 1-3 terbesar
  • Kabupaten-kabupaten yang lokasinya jauh dari ibu kota provinsi/daerah perbatasan yang rata-rata memiliki tingkat ketahanan pangan lebih rendah dibandingkan kabupaten lain.
  • Kabupaten-kabupaten di Kepulauan dengan tingkat kerentanan pangan tinggi
  • Kabupaten pemekaran dengan tingkat kerentanan pangan tinggi Penanganan kerentanan pangan di wilayah perkotaan diprioritaskan pada:
  • Kota-kota yang memiliki keterbatasan akses terhadap pangan (infrastruktur, stabilisasi pasokan, dan daya beli).
  • Kota-kota yang memiliki keterbatasan pemanfaatan pangan (kualitas sumberdaya manusia dan sanitasi).

 

Program-program  peningkatan  ketahanan  pangan  dan  menangani  kerentanan pangan wilayah kabupaten diarahkan pada kegiatan:

  • Peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi dengan mengoptimalkan sumberdaya pangan lokal
  • Penanganan stunting diantaranya melalui sosialisasi dan penyuluhan tentang gizi dan pola asuh anak; penyediaan fasilitas dan layanan air bersih
  • Penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, padat karya, redistribusi lahan; pembangunan infrastruktur dasar (jalan, listrik, rumah sakit), dan pemberian bantuan sosial; serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya untuk menggerakan ekonomi wilayah
  • Peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih; sosialisasi dan penyuluhan
  • Penurunan pangsa pengeluaran pangan melalui sosialisasi pola konsumsi pangan (B2SA) serta peningkatan kesempatan kerja
  • Peningkatan pendapatan peningkatan pendidikan perempuan
  • Penyediaan tenaga kesehatan

 

Program-program penanganan kerentanan pangan di daerah perkotaan diarahkan pada kegiatan:

  • Peningkatan  kesempatan  kerja  dan  pendapatan  masyarakat  sehingga meningkatkan daya beli masyarakat
  • Sosialisasi pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman
  • Peningkatan akses rumah tangga terhadap air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih
  • Peningkatan  sanitasi  lingkungan  dan  perilaku  hidup  bersih  dan  sehat melalui sosialisasi dan penyuluhan
  • Penanganan balita stunting melalui intervensi program gizi baik spesifik maupun sensitif.

 

Apa saja Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga? Umumnya pengukuran pada level rumah tangga lebih banyak dimanfaatkan untuk pengambilan kebijakan. Hal ini karena level rumah tangga sebagai unit terendah yang menjadi penaung level individu. Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif (Suhardjo, 1996; Committe on Work Food Security 1995 dalam Soetrisno, 1997). Definisi tersebut sejalan dengan definisi ketahanan pangan dan gizi, yaitu kondisi terpenuhinya kebutuhan Pangan dan Gizi bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, memenuhi kecukupan Gizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk mewujudkan Status Gizi yang baik agar dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (PPRI No17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan Dan Gizi).

 

Sumarwan dan Sukandar (1998) menyatakan bahwa hal-hal yang menyebabkan suatu rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya adalah (1) tersedianya pangan, (2) lapangan kerja dan (3) pendapatan. Sementara berdasarkan definisi Ketahanan Pangan Dan Gizi PPRI No17 Tahun 2015, faktor tersedianya pangan dapat dijabarkan dalam beberapa aspek yaitu (1) cukup, baik jumlah maupun mutunya memenuhi kecukupan Gizi, (2) aman, (3) beragam, (4) merata, terjangkau, (6) sesuai agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, (7)sehat, aktif, dan produktif, dan (8) berkelanjutan.

 

Cukup dalam jumlah, mutu, maupun gizi. Kecukupan dalam jumlah, mutu, maupun gizi dapat mengikuti peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 75 tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa indonesia. Dalam peraturan tersebut disebutkan angka kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, dan air yang dianjurkan untuk orang Indonesia untuk perorang perhari.

 

Aman. Pangan yang aman meliputi bahan bakunya dan penyajiannya. Bahan baku baik dalam artian tidak rusak, bersih, tidak busuk, atau kedaluwarsa. Demikian juga dengan makanan yang sudah dimasak harus baik dalam artian tidak rusak, bersih, tidak busuk, bakteri ecoli tidak ada, dan bebas dari logam berat atau bahan pengawet yang berlebih.

 

Beragam. Keragaman pangan secara nasional dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis sumber pangan. Keragaman sumber pangan ini dapat memberikan peluang bagi berbagai sumber pangan termanfaatkan. Semntara keberagaman pangan bagi rumah tangga akan menyediakan sumber gizi yang bervariasi serta mengurangi kebosanan pada pangan tertentu.

 

Merata. Ketersedian pangan secara merata dapat ditinjau secara distribusi kewilayahan dan waktu. Pangan harus tersedia di seluruh wilayah Indonesia dalam setiap waktu. Pemerintah melalui bulog bertanggung jawab dalam penyediaan secara merata bahan pangan secara wilayah dan waktu. Dalam rumah tangga, kemerataan dapat dilihat dari asupan pangan yang terpenuhi bagi setiap anggota rumah tangga sesuai dengan porsinya masing-masing.

 

Terjangkau. Keterjangkauan pangan merupakan kondisi wilayah maupun rumah tangga yang mampu mengakses pangan. Keterjangkauan secara kewilayahan pada umumnya terkait dengan akses transportasi untuk pengiriman bahan pangan.  Keterjangkauan secara rumah tangga menyangkut aspek daya beli terhadap bahan pangan. Kemampuan daya beli memiliki keterkaitan dengan tingkat kemiskinan. Masyarakat sangat miskin akan kesulitan untuk mendapatkan pangan apabila harga pangan terlalu tinggi dan mereka tidak mampu membelinya.

 

Sesuai agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Pada masyarakat yang masih kuat memegang nilai agama, keyakinan, dan budaya khususnya yang terkait pangan, mereka akan sangat mempehatikan konsumsi pangan untuk setiap harinya. Bagi muslim, pangan halal merupakan suatu keharusan yang harus terpenuhi.

 

Sehat, aktif, dan produktif. Muara dari pangan adalah terwujudnya tubuh yang sehat. Dengan tubuh yang sehat, setiap individu dalam rumah tangga maupun dalam negara dapat melakukan berbagai aktivitas. Dengan lancarnya aktivitas akan menjadikan kehidupan yang lebih produktif.

 

Berkelanjutan. Keseluruhan aspek di atas harus dapat tersedia setiap saat. Oleh karena itu diperlukan adanya sistem dalam rumah tangga yang mampu berjalan secara terus menerus guna memenuhi semua aspek. Diperlukan adanya lapangan kerja yang mampu menghasilkan pendapatan yang mencukupi ketahanan pangan rumah tangga.

 

Apa Tantangan  Dan Hambatan  Serta  Solusi  Dalam Memenuhi Ketahanan Pangan Di Indonesia? Dalam menghadapi berbagai tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang mantap, secara umum masih cukup tersedia berbagai potensi sumberdaya (alam, SDM, budaya, teknologi, dan finansial) yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk: meningkatkan ketersediaan pangan, penanganan kerawanan pangan dan aksesibilitas pangan; mengembangkan sistem distribusi pangan, stabilisasi harga pangan dan peningkatan cadangan pangan; serta mengembangkan penganekaragaman konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman. Di sisi lain, penguatan kelembagaan ketahanan pangan pemerintah dan masyarakat berpeluang semakin besar untuk mendorong pencapaian sasaran program ketahanan pangan.

 

Adapun tantangan dan hambatan ketahanan pangan di Indonesia adalah sebagai berikut :

a) Ketersediaan Pangan.

Dalam upaya peningkatan produksi dan ketersedian pangan, belum seluruh potensi sumber daya alam yang terdapat di wilayah Indonesia dikelola secara optimal.

Terkait dengan penyediaan pangan dan perwujudan ketahanan pangan. maka pengelolaan lahan dan air merupakan sumberdaya alam utama yang perlu dioptimalkan untuk menghasilkan pangan.

Dukungan infrastruktur sumber daya air dalam penguatan strategi ketahanan pangan nasional. dapat ditempuh dengan langkah-langkah: pengembangan jaringan irigasi, pengelolaan jaringan irigasi, optimasi potensi lahan rawa dan air tanah.

Potensi sumber daya alam yang beragam dan didukung ketersediaan teknologi di bidang hulu sampai hilir, memberikan peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha, serta meningkatkan usaha agribisnis pangan.

Sumber karbohidrat lain seperti: jagung, ubi jalar, singkong, talas, dan sagu yang dahulu menjadi makanan pokok di beberapa daerah, juga tidak lebih rendah kandungan gizinya dari beras dan terigu.

Potensi sumber daya alam yang mengandung berbagai jenis sumbedaya hayati dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan masyarakat secara merata dan sepanjang waktu di semua wilayah.

Peran pengembangan ilmu dan teknologi inovatif dalam pertanian sangat penting artinya sebagai sarana untuk mempermudah proses transformasi biomassa menjadi bahan pangan dan energi terbarukan.

Perkembangan teknologi industri, pengolahan, penyimpanan dan pasca panen pangan serta transportasi dan komunikasi yang sangat pesat hingga ke pelosok daerah menjadi penunjang penting untuk pemantapan ketersediaan pangan, cadangan pangan dan penanganan rawan pangan

 

b) Distribusi Pangan.

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai tantangan untuk dapat mendistribusikan bahan pangan secara tepat waktu sehingga tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat dan tersedia setiap saat.

Khusus untuk wilayah Indonesia bagian timur, kepulauan terpencil dan daerah perbatasan tantangan yang dihadapi adalah iklim yang kurang mendukung, terbatas sarana/prasarana yang memadai untuk transportasi, pasar dan sarana penyimpanan. dan informasi pasar.

Mengingat fungsi distribusi pangan dilaksanakan oleh pelaku distribusi dalam melakukan perdagangan dan jasa pemasaran maka peran pemerintah adalah memberikan fasilitasi dalam kebijakan yang mendukung ketersediaan sarana/prasarana distribusi yang mudah dan murah, serta pengaturan pola produksi di masing-masing daerah.

Potensi masyarakat dan swasta dalam penyediaan sarana/ prasarana distribusi antara lain jasa, pemasaran, pengangkutan, pengolahan, dan penyimpanan cukup besar dan sangat bervariasi dari yang bersifat individu berskala kecil, usaha bersama berbentuk koperasi, hingga perusahaan besar, dan multinasional.

Tantangan di dalam perdagangan pangan internasional yang lebih adil khususnya dalam penerapan proteksi dan promosi perdagangan pangan yang semakin meningkat akan memberikan dampak yang baik dalam pendistribusian bahan pangan dalam negeri. Dukungan masyarakat internasional dalam rangka menurunkan kemiskinan dan kerawanan pangan secara bersama-sama yang diwujudkan dalam bentuk aliansi antar negara pada kawasan regional dan internasional dapat memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan distribusi pangan masyarakat.

Tantangan yang dihadapi dalam penyempurnaan sistem standarisasi dan mutu komoditas pangan serta pelaksanaan perangkat kebijakan yang memberikan insentif dan lingkungan yang kondusif bagi pelaku pasar akan meningkatkan potensi dan peluang pengembangan usaha distribusi pangan yang menjamin stabilitas pasokan pangan di seluruh wilayah dari waktu ke waktu.

 

c) Konsumsi dan Keamanan Pangan.

Indonesia menempati rangking ke 4 dunia dalam jumlah penduduk, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk yang sangat besar tersebut memerlukan upaya-upaya yang tidak ringan. Namun demikian Indonesia dengan kekayaaan sumber daya alam serta mega bio diversivity mempunyai potensi dan peluang sangat besar untuk mengembangkan diversifikasi pangan.

Semakin meningkatnya pengetahuan yang didukung adanya perkembangan teknologi informatika serta strategi komunikasi public, memberikan peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran terhadap pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman yang diharapkan dapat mengubah pola pikir dan perilaku konsumsi masyarakat, sehingga mencapai status gizi yang baik. Meningkatnya pembinaan, penanganan dan pengawasan pada pelaku usaha di bidang pangan terutama UKM pangan dalam penanganan keamanan pangan, diharapkan dapat meningkatkan penyediaan pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman.

Berbagai kelembagaan di tingkat lokal di kecamatan dan desa dapat menjadi mitra kerja pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dalam rangka gerakan penganekaragaman konsumsi pangan, seperti Posyandu, Balai Penyuluhan Pertanian, para penyuluh dari berbagai instansi terkait. dan kelembagaan masyarakat (Tim Penggerak PKK, majelis taklim, dan sebagainya).

 

d) Manajemen Ketahanan Pangan

Kemampuan manajemen ketahanan pangan nasional dan daerah, merupakan pendorong dan penggerak dalam pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan tingkat nasional hingga rumah tangga dan individu. Yang mencakup pada berbagai hal strategis, antara lain:

·          Jaringan kerjasama dengan instansi terkait pusat dan daerah.

·          Kerjasama dengan swasta dan masyarakat.

·          Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan.

·          Penanganan ketahanan pangan kedepan semakin kompleks.

 

Adapun solusi dalam memenuhi ketahanan pangan antara lain setiap pemerintah selayaknya berusaha agar tidak ada yang kelaparan. Pemerintah pusat dapat membuat kebijakan yang menganjurkan pemanfaatan lahan untuk usahatani keluarga, perlindungan terhadap polusi lahan pertanian, membuat kredit ringan bagi petani, dan membantu petani mengatasi masalahnya.

 

Sebagian pemerintah pusat menawarkan subsidi (dana untuk mendukung petani, konsumen makanan, atau keduanya) sebagai suatu cara untuk memperbaiki ketahanan pangan.Jenis-jenis subsidi antara lain dukungan harga untuk membantu petani dengan cara menetapkan harga pasar yang lebih tinggi untuk bahan pangan yang mereka hasilkan, dan pengendalian harga bagi pembeli makanan (konsumen) agar harga-harga makanan pokok terjangkau.

 

Tetapi dengan atau tanpa bantuan pemerintah, ada banyak cara yang dapat dilakukan orang untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Dari menanami sebuah kebun kecil sampai mengelola sebuah pasar bagi para petani, perubahan yang mengarah pada peningkatan ketahanan pangan sering dapat memberi hasil yang cepat dan memotivasi orang untuk berbuat lebih banyak. Ketahanan pangan masyarakat harus diprogram dalam proyek pangan masyarakat.

 

Ketahanan pangan lebih kuat bila makanan dihasilkan dan didistribusi secara lokal. Makanan yang ditanam dilokasi juga akan lebih segar dan karenanya lebih bergizi. Dengan demikian akan membangun ekonomi setempat karena uang berputar ke petani dan pengusaha di daerah tersebut. Hal ini membantu membangun hubungan baik antarwarga, membuat kekerabatan lebih kuat dan menjadikan tempat yang lebih sehat untuk didiami. Mengingat warga miskin sering hanya mempunyai sedikit tanah dan beberapa pasar bahan pangan, maka memegang kendali atas produksi dan khususnya distribusi pangan merupakan hal penting bagi mereka.

 

Solusi  yang  lain  yaitu  ada  beberapa  proyek  meningkatkan  produksi  pangan masyarakat antara lain :

1) Cara-cara meningkatkan produksi pangan masyarakat

Kebanyakan proyek masyarakat dapat dimulai dengan sedikit tanah dan uang, dan membantu warga mendapatkan lebih banyak makanan segar.

Kebun keluarga. Dapat menambah buah dan sayuran sehat dalam menu makan keluarga.

Kebun sekolah. Dapat memberikan makanan segar untuk anak-anak dan mengusahakan agar anak-anak tetap bersekolah dengan cara memberikan makanan.Dan mereka mengajarkan anak-anak cara bertani agar pengetahuan penting ini tetap dipertahankan!

Kebun warga. Dapat memberikan makanan dan tempat bagi orang untuk berkumpul, meski jika mereka tidak mempunyai lahan.Kebun warga dapat pula membantu orang untuk belajar tentang produksi bahan pangan, mengembangkan ketrampilan, dan memulai usaha baru seperti rumah makan dan pasar.Bahkan kebun yang kecil pun dapat membuat perbedaan besar pada ketahanan pangan.

Warga pendukung pertanian. Ketika para petani menjual bahan pangan mereka langsung ke konsumen.Warga membayar kepada petani sebelum tanaman ditanam, dan kemudian menerima buah-buah segar, sayuran dan makanan lain setiap minggu sepanjang musim panen.Dengan membuat investasi ini, konsumen sudah membantu para petani tetap bertahan di lahannya dan tetap dalam usahanya sambil mendapatkan pasokan makanan bergizi yang dapat diandalkan.

Program penyimpanan benih. Kegiatan ini membantu memastikan bahwa pasokan benih tradisional tersedia.Benih yang bervariasi adalah dasar dari usahatani yang berkelanjutan dan warga masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.

 

2) Menyediakan makanan sehat dengan harga yang wajar

Saat ini produksi makanan dunia menghasilkan jumlah makanan lebih dari cukup untuk semua orang, namun tetap saja ada orang yang kelaparan. Hal ini terjadi antara lain karena harga-harga bahan makanan seringkali lebih tinggi daripada kemampuan orang untuk membayarnya, dan makanan sehat sering tidak tersedia bagi masyarakat yang paling miskin. Di sini bantuan pemerintah diperlukan untuk memastikan harga-harga yang wajar bagi pembeli dan penjual bahan pangan. Beberapa cara yang dilakukan masyarakat lokal agar makanan sehat tersedia dengan harga yang wajar antara lain sebagai berikut.

Pasar tani. Petani langsung menjual pada konsumen akan mengurangi biaya transportasi dan tidak memerlukan pedagang perantara sehingga petani mendapat penghasilan lebih dan konsumen membayar lebih murah.Pasar tani juga memungkinkan konsumen bertemu langsung dan berbicara dengan mereka yang menanam makanan mereka.Hal ini membantu petani menjajaki apa yang dibutuhkan konsumen dan juga membantu konsumen mengetahui apa yang dilakukan petani untuk menghasilkan makanan mereka.

Koperasi bahan pangan. Ini adalah pasar yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh para pekerja dan mereka yang membeli bahan makanan di sana. Anggota koperasi membayar sebagian dari belanjaannya dengan bekerja di koperasi.Kebanyakan koperasi bahan pangan berusaha membeli dan menjual bahan pangan yang ditanam di daerah tersebut.

 

3) Penyimpanan bahan pangan yang aman

Penyimpanan bahan pangan yang aman sama pentingnya dengan kemampuan bertani tanaman pangan atau mempunyai akses pada makanan. Kekeringan, badai, banjir, hama, atau penyakit semuanya dapat membuat sebuah keluarga atau komunitas tidak punya cukup makanan dan tidak ada bahan pangan yang bisa dijual. Program penyimpanan bahan pangan warga dapat membantu mengatasi masalah ini.

Bank pangan adalah tempat di mana makanan dikumpulkan dan diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Bank pangan biasa membantu pada saat krisis kelaparan.Tetapi karena orang akan tergantung pada mereka, maka bank semacam ini bukan jalan keluar yang baik untuk ketahanan pangan jangka panjang. Pada saat suatu wilayah menderita kelaparan, bantuan pangan dari badan-badan internasional dapat membantu mereka melewati masa krisis.Bantuan pangan adalah jalan keluar jangka pendek bagi ketahanan pangan, dan tidak menyelesaikan kebutuhan jangka panjang bagi kedaulatan pangan (food sovereignty).

 

Demikian pembahasan tentang Pengertian Ketahanan Pangan, Faktor Ketahanan Pangan Nasional, Ketahanan Pangan Di Indonesia, Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga, serta Tantangan Dan Hambatan Serta Solusi Dalam Memenuhi  Ketahanan Pangan Di Indonesia. Semogaa ada manfaatnya

No comments

Post a Comment

Buka Formulir Komentar

Info Kurikulum Merdeka dan PM

Info Kurikulum Merdeka dan PM
Info Kurikulum Merdeka dan Pembelajaran Mendalam

Search This Blog

Social Media

Facebook  Twitter  Instagram  Google News   Telegram  

Popular Posts

Free site counter
Free site counter