Salah satu soal ujian yang ditanyakan dalam mata pelajaran IPS adalah terkait apa Isi Politik Etis Pada Masa Penjajahan Belanda dan bagaimana dampak negarif dan positif Politik Etis bagi rakyat (bangsa) Indonesia? Seperti diketahui kebijakan Politik Etis mulai diterapkan penjajahan Belanda di Indonesia pada tahun 1901. Kebijakan ini, yang juga dikenal sebagai "politik balas budi," resmi diumumkan oleh Ratu Wilhelmina dalam pidato kenegaraannya pada 17 September 1901, sebagai respons terhadap kritik terhadap penindasan dan eksploitasi terhadap penduduk pribumi di Hindia Belanda.
Peperangan
di tanah koloni membuat Belanda mengalami kerugian ekonomi begitu besar. Di
samping itu, Perang Kemerdekaan Belgia dimana Belgia ingin memisahkan diri dari
Belanda, juga menyebabkan terkurasnya kas negeri Belanda. Mengatasi kas negara
yang kosong, Pemerintah Belanda mengirimkan Gubernur Jenderal yang baru, yakni
Johannes Van Den Bosch ke Indonesia.
Van
Den Bosch mengeluarkan satu sistem budi daya tanaman yang dikenal dengan
kebijakan cultuurstelsel yang kemudian dikenal dengan sebutan sistem tanam
paksa. Kebijakan sistem tanam paksa tersebut berisi:
(1) penduduk desa diwajibkan menyediakan 1/5 dari tanahnya
atau lebih, untuk ditanami tanaman yang laku dijual di pasaran dunia,
(2) tanah yang disediakan untuk penanaman tanaman yang laku
dijual di pasaran dunia dibebaskan dari pembayaran pajak tanah,
(3) hasil panen dari penanaman tanaman yang laku dijual di
pasaran dunia tersebut harus diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda.
Setiap kelebihan hasil tanaman dari jumlah pajak yang harus dibayar, akan
dibayarkan kembali kepada rakyat,
(4) wajib tanam paksa dapat diganti dengan penyerahan
tenaga untuk pengangkutan dan pekerjaan di pabrik,
(5) kegagalan panen akan menjadi tanggungan pemerintah,
(6) penggarapan penanaman tanaman yang laku dijual di
pasaran dunia tersebut di bawah pengawasan langsung dari kepala- kepala
pribumi. Kepala-kepala Belanda mengawasi secara umum jalannya penggarapan
sampai pengangkutannya.
Dalam
pelaksanaannya sistem tanam paksa tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Beberapa penyimpangan yang muncul antara lain: (1) lebih dari seperlima tanah,
yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi digunakan sebagai
area tanam paksa, (2) tanah yang digunakan untuk penanaman tanaman tersebut
tetap dikenakan pajak sehingga tidak sesuai dengan perjanjian, (3) kelebihan
hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk
dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah, (4) Waktu untuk
bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu
yang telah ditentukan.
Akibat
dari penyimpangan aturan dalam sistem tanam paksa tersebut menimbulkan kerugian
serta penderitaan yang cukup besar bagi kaum pribumi. Penderitaan fisik dan
mental menimbulkan kemiskinan dan kematian di berbagai daerah koloni, seperti
Cirebon, Kendal, dan Grobogan, sementara bagi Belanda sistem tersebut tentunya
sangat menguntungkan mereka, kondisi perekonomian negara Belanda kembali pulih.
Penderitaan
kaum pribumi akibat dari diberlakukannya sistem tanam paksa oleh Belanda mulai
mendapatkan perhatian dari beberapa kelompok di negeri Belanda. Sebagian orang Belanda
mulai prihatin terhadap kesejahteraan penduduk pribumi. Bangsa Indonesia
membutuhkan sebuah perubahan kehidupan perekonomian dan pendidikan.
Kaum
etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan
Conrad Theodore Van Deventer (politikus) mengkritik kebijakan pemerintah
Belanda kepada kaum pribumi di Indonesia. Van De Venter yang menulis pada
majalah De Gids tahun 1899. Dia mengatakan bahwa Indonesia telah berjasa
membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya meskipun dengan penuh
pengertian. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya kalau kebaikan orang Indonesia itu
dibayar kembali. Oleh karena itu, menurut Van De Venter, hutang budi itu harus
dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui triasnya yang terdiri dari
irigasi, edukasi , dan migrasi. Pada tahun 1901, kebijakan tersebut oleh Ratu
Wihelmina dijadikan sebagai kebijakan Belanda terhadap Indonesia, yang kemudian
dikenal dengan sebutan politik etis.
Isi
dari Politik Etis adalah:
1. Irigasi (Pengairan). Kebijakan ini bertujuan untuk
mengairi lahan pertanian inlander (penduduk pribumi) dengan membangun dan
memperbaiki saluran pengairan dan bendungan. Pengairan diperlukan agar rakyat
dapat mengairi lahan pertaniannya dengan mudah.
2. Edukasi (pendidikan) Kebijakan edukasi yaitu kebijakan
memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran.
3. Migrasi (perpindahan penduduk). Migrasi atau perpindahan
penduduk merupakan kebijakan politik etis pemerintah Belanda dengan mengajak
penduduk untuk bermigrasi ke daerah pertanian dan perkebunan milik Belanda guna
memperbaiki perekonomian keluarganya.
Kebijakan
politik etis yang dibuat oleh Belanda sepertinya akan menguntungkan bagi rakyat
Indonesia. Akan tetapi, dalam pelaksanannya terjadi penyelewengan.Beberapa
penyelewengan tersebut antara lain:
1. Irigasi. Pelaksanan politik etis dalam bidang irigasi
atau pengairan awalnya ditujukan untuk mengairi lahan para pendudukpribumi,
namun pada pelaksanaanya ternyata hanya digunakan untuk mengairi tanah- tanah
yang digunakan sebagai lahan perkebunan perusahaan swasta Belanda. Sementara
lahan rakyat tidak diairi.
2. Edukasi. Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah
sebagai bentuk pelaksanaan politik etis. Namun ternyata terdapat penyimpangan.
Pendidikan ternyata digunakan oleh Belandauntuk mendapatkan pegawai
pemerintahan dengan gaji yang murah. Pendidikan yang sejatinya diperuntukan
kepada penduduk pribumi ternyata hanya dapat dinikmati sesuai dengan status sosial
masyarakat.
3. Migrasi. Pelaksanaan politik etis bidang migrasi terjadi
penyelewengan yaitu perpindahan penduduk ke luar Jawa hanya ditujukan ke daerah
perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan
tenaga kerja di daerah-daerah
perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di
Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak
yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang
menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dampak
dari diberlakukannya politik etis yang dilakukan Belanda memang pada akhirnya
banyak merugikan rakyat Indonesia pada saat itu. Akan tetapi Indonesia sendiri
sebenarnya mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, terutama dalam hal
pendidikan. Edukasi atau pendidikan dinilai sebagai jalan satu-satunya yang
dapat ditempuh untuk memperbaiki nasib rakyat, karena dengan adanya perbaikan
pendidikan maka nasib rakyat akan menjadi lebih baik. Perkembangan pendidikan
menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan sosial karena berdampak pada
perubahan struktur dalam masyarakat.
Pemberlakuan
politik etis di Hindia Belanda melahirkan sekolah- sekolah bagi kaum pribumi.
Bukan hanya sekolah rendah, tetapi dibangun pula sekolah menengah, sekolah
keguruan, dan sekolah tinggi. meskipun pengajaran di sekolah-sekolah tersebut
hanya diperuntukkan bagi anak laki- laki, sedangkan bagi anak-anak perempuan
hanya memperoleh pendidikan di rumah dan di lingkungan keluarga. Anak-anak
perempuan dididik untuk mempersiapkan diri menjadi ibu rumah tangga. Mereka
diharuskan belajar memasak, menjahit, dan membatik yang merupakan rutinitas di
rumah.
Terdapat
beberapa jenis sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada
tingkat sekolah dasar, terdapat ELS (Europesse Lagere School), sekolah yang
diperuntukkan bagi anak keturunan golongan Eropa, Timur Asing, dan putera raja
atau bangsawan utama. Selain itu, terdapat HIS (Hollandsch Inlandsch School)
yang diperuntukkan bagi anak keturunan priyayi dan saudagar dagang, dengan lama
studi sekitar 7 tahun.
Pada
jenjang sekolah dasar, juga terdapat sekolah desa, yang sering disebut sebagai
“sekolah kelas dua”. Pada Sekolah Desa (Volksch School), pembelajaran dilakukan
menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah sekitar dan lama belajar adalah 3
tahun. Sesudah itu terdapat sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch
School) dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2
tahun. Selain itu juga terdapat Sekolah Peralihan (Schakel School) yaitu
sekolah lanjutan untuk sekolah desa dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa
belanda dalam kegiatan belajar mengajar. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa
biasanya memilih jalur HCS (Hollands Chinesche School) karena selain bahasa
pengantar Belanda, juga diberikan bahasa Tionghoa. Di luar jalur resmi
Pemerintah Hindia Belanda, maka masih ada pihak swasta seperti Taman Siswa,
Perguruan Rakyat, Sekolah Kristen dan Sekolah Katholik. Pada jalur pendidikan Islam
ada pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah (seperti Muallimin di
Yogyakarta), dan Pondok Pesantren yang tersebar di berbagai daerah, dan
sebagainya.
Pada
tingkatan sekolah menengah pertama dan lanjutan atas, terdapat MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs), HBS (Hogere Burger School), AMS (Algemeen Metddelbare
School) atau Kweekschool (sekolah guru). Sementara itu, untuk jenjang perguruan
tinggi terdapat sekolah dokter untuk priyayi Jawa, STOVIA (School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen), untuk sekolah tinggi Teknik terdapat Technische
Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), untuk sekolah ahli hukum terdapat
Rechtsschool (sekarang FH Universitas Indonesia).
Pendidikan
yang diberikan kepada rakyat pribumi ternyata telah melahirkan kelompok elit
intelektual. Mereka yang mendapat pendidikan Barat bukan saja menyerap ilmu
pengetahuan Barat, tetapi sekaligus juga membangkitkan kesadarannya sebagai
bangsa. Dari kalangan intelektual inilah muncul tokoh-tokoh pergerakan
kebangsaan yang melahirkan berbagai organisasi pergerakan pada zaman Hindia
Belanda.
Pendidikan
yang berkembang pada masa kolonial adalah salah satu bentuk modernisasi
sehingga masyarakat yang bersifat tradisional kemudian mengalami transisi ke
arah modern. Tingkat literasi dan pengetahuan masyarakat meningkat, serta
muncul sektor pekerjaan baru yang memerlukan keterampilan. Output dari
pendidikan dapat menempati sektor pekerjaan baru tersebut sehingga mereka
mengalami perubahan status sosial. Organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan
yang bersifat modern mulai bermunculan seiring diperkenalkannnya ide kemajuan
oleh intelektual-intelektual baru yang telah mengubah cara pandang masyarakat
sekitarnya untuk terlepas dari belenggu penjajahan kolonial.






No comments
Post a Comment
Buka Formulir Komentar