Pengertian Sejarah dan Tujuan Mempelajari Sejarah

Pengertian Sejarah dan Tujuan Mempelajari Sejarah


Pada materi Pengertian Sejarah dan Tujuan Mempelajari Sejarah ini kita akan membahasa Pengertian Sejarah, Sejarah sebagai ilmu pengetahuan. Ontologi Sejarah, Epistemologi Sejarah dan Tujuan Penulisan dan Guna Sejarah.

 

Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa sejarah dapat dibagi menjadi dua pengertian yakni: Pertama, sejarah dalam arti subjektif yaitu suatu konstruksi, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita yang mencakup rangkaian fakta-fakta untuk menggambarkan gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Kedua, sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa yaitu sejarah dalam aktualisasinya. Kejadian tersebut hanya terjadi sekali dan tidak terulang kembali. (Kartodirdjo, 2017: 31).

 

Pengertian lain mengenai sejarah, berakar dari bahasa Arab “Syajaratun” yang berarti Pohon. Istilah lain menyebutkan bahwa kata history merupakan terjemahan dari perkataan Yunani yakni Istoria yang membawa makna satu penyelidikan ataupun pengkajian. Menurut "Bapak Sejarah" Herodotus, sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan kisah jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban, sehingga pengertian sejarah merupakan satu sistem yang menceritakan kejadian masa lalu dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, istilah sejarah merujuk kepada peristiwa- peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekor-rekor atau bukti- bukti yang kukuh (Moh. Ali, 1995: 17).

 

Lebih lanjut pengertian tentang sejarah disampaikan oleh Sir Charles Firth, ia berpendapat bahwa sejarah merekam kehidupan manusia, perubahan yang terus menerus, merekam ide-ide, dan merekam kondisi-kondisi material yang telah membantu atau merintangi perkembangnnya. Pandangan tentang sejarah juga diungkapkan oleh John Tosh, menurutnya sejarah adalah memori kolektif, pengalaman melalui pengembangan suatu rasa identitas sosial manusia dan prospek manusia tersebut di masa yang akan datang (Sanusi, 2013 : 1). Pendapat lain tentang sejarah juga disampaikan oleh J.V. Bryce, ia menyatakan bahwa sejarah adalah catatan yang telah dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat manusia. Sejarawan W.H. Walsh berpandangan bahwa sejarah menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting, yang meliputi tindakan dan pengalaman di masa lalu. Ada juga Patrick Gardiner yang berpendapat bahwa sejarah adalah ilmu yang telah diperbuat manusia. (Sanusi, 2013 : 2)

  

Ontologi Sejarah

Sejarah secara singkat dapat dikatakan menceritakan problematika masyarakat, manusia, dan segala aktivitasnya. Kisah itu ditujukan mengenai perubahan-perubahan yang terjadi karena kodrat masyarakat itu seperti masa kebiadaban, masa saling membantu terus ke masa persatuan golongan, kisah revolusi, pemberontakan yang timbul antara bangsa dengan bangsa dan kisah kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang timbul karena revolusi dan pemberontakan itu, serta menceritakan perkembangan manusia dari awal hingga akhir, dan meliputi kompleks permasalahannya (Kuntowijoyo, 1995: 21).

 

Jadi usaha untuk menghadirkan masa lalu dalam sejarah dilakukan secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku. Sebagai usaha susulan dalam memahami masa lalu, sejarah dalam arti kata lain digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti- bukti yang sahih bagi manusia untuk memperkayakan pengetahuan tentang masa lampunya supaya waktu sekarang dan akan datang menjadi lebih cerah. Dengan itu akan timbul sikap waspada (awareness) dalam diri semua kelompok masyarakat karena melalui pembelajaran sejarah, ia dapat membentuk sikap tersebut terhadap permasalahan yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa yang berlaku pada masa lampau dapat dijadikan pengajaran yang berguna. Pengertian Sejarah boleh dilihat dari tiga dimensi yaitu epistomologi (kata akar), metodologi (kaedah sesuatu sejarah itu dipaparkan) dan filsafat atau pemikiran peristiwa lalu yang dianalisa secara teliti untuk menentukan sama ada ia benar atau tidak (Ankersmith, 1987).

 

Melihat pengertian di atas sejarah adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang pernah terjadi pada masa lampau. Pertanyaanya apakah semua masa lalu bisa dikaji oleh sejarah? Para sejarawan dan orang yang mempelajari sejarah menggunakan masa lalu sebagai tema kajian utama. Mereka hidup di masa kini dan berjarak dengan masa lalu. Hal ini membawa kita kepada hakikat (ontologi) sejarah yang pertama bahwa masa lalu itu berjarak dengan masa kini, sehingga “komunikasi” dengannya hanya dimungkinkan melalui benda-benda peninggalan yang tersisa dari masa itu (Moh.Ali,1995:19)

 

Hakikat sejarah yang kedua adalah keterbatasan memori manusia untuk mengingat semua hal di masa lalu. Maka, hanya yang diingatlah yang akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Ini berarti sejak awal kajian sejarah bagiamanapun lengkapnya data, tetap bersifat subyektif karena mengandalkan intuisi sejarawan yang hendak menuliskan masa lalu tersebut. Hakikat Sejarah yang ketiga adalah kehidupan sejarawan di masa kini padahal yang akan dituliskan adalah kejadian di masa lalu. Maka tulisan sejarah ditulis berdasarkan kepentingan untuk masa kini dan masa depan. Maka, tidak ada tulisan sejarah yang netral tapi tafsirannya diserahkan kepada pembaca karya tersebut.


Epistemologi Sejarah

Masa lalu yang berjarak dengan masa kini membuat cara mendapatkan kebenaran dengan mengumpulkan bukti-bukti yang tersisa dari masa lalu tersebut. Umumnya bukti tersebut adalah sumber tertulis (arsip, koran, majalah, terbitan pemerintah, buku, novel, dsb), sumber lisan (wawancara, memori kolektif, tradisi lisan), dan sumber benda lain (foto, lagu, lukisan, bangunan). Melalui sumber inilah sejarawan menghadirkan masa lalu kepada pembaca dalam bentuk karya sejarah (historiografi).

 

Usaha menghadirkan masa lalu itu dengan tiga cara yaitu pertama, konstruksi. Kontruksi diibaratkan usaha membangun kembali masa lalu melalui peninggalan masa lalu. Harapannya sejarah yang ditulis akan sama persis dengan poeristiwa di masa lalu. Usaha ini boleh dikatakan mustahil dilakukan karena jarak yang membatasi antara masa kini dan masa lalu. Kedua, rekonstruksi. Usaha ini dilakukan dengan membangun kembali peristiwa masa lalu berdasarkan cara pandang (perspektif) masa kini. Hal inilah yang biasanya diajarkan dalam proses pendidikan menjadi sejarawan. Ketiga, dekonstruksi. Usaha ini menghadirkan masa lalu yang berbeda dengan cerita umum, dan membangun kesadaran kritis terhadap kajian sejarah.

 

Setelah mendapatkan bahan dan memilih metode untuk menghadirkan masa lalu, usaha berikutnya adalah kritik terhadap sumber sejarah yang dilakukan oleh sejarawan. Metode ini dikenal sebagai kritik sumber dan terdiri atas kritik eksternal (untuk menentukan keaslian fisik sumber sejarah yang digunakan), dan kritik internal (untuk menentukan keaslian isi dari sumber sejarah). Setelah dilakukan interpretasi terhadap peristiwa sejarah yang dihadirkan dalam sumber. Pada level ini keahlian seorang sejarawan diuji, untuk menentukan cerita seperti apa yang akan dihasilkan. Tahap terakhir adalah penulisan sejarah yang menghasilkan historiografi.

  

Apa Tujuan Penulisan dan Guna Sejarah dan Tujuan Mempelajari Sejarah? Sejarawan Louis Gottschalk dalam karyanya Mengerti Sejarah (Louis Gottschalk, 1975), menyebutkan setidaknya ada empat kegunaan sejarah dalam hidup manusia, yaitu: Sejarah sebagai pelajaran. Pengalaman adalah guru yang terbaik dan manusia banyak belajar dari pengalaman hidupnya baik pengalaman dirinya maupun dari pengalaman orang lain atau generasi sebelumnya. Pengalaman merupakan peristiwa masa lalu dan dari peristiwa itulah kita dapat mengambil hikmahnya (pelajaran), sebagai contoh kemajemukan masyarakat Indonesia pada masa lalu di manfaatkan oleh penjajah untuk melakukan devide et impera, dan berhasil, akibatnya bangsa Indonesia dijajah sampai ratusan tahun lamanya. Peristiwa masa lalu tersebut memberikan pelajaran kepada generasi sekarang, sehingga generasi sekarang harus mampu memandang kemajemukan bukan sebagai hal negatif, tetapi harus di sikapi secara positif. Contoh lain misalnya dapat kita ambil dalam peristiwa Revolusi Kemerdekaaan tahun 1945-1950. Masyarakat Indonesia bersatu padu untuk melawan ancaman penjajah, tanpa memandang agama, suku, dan ras, selain tujuan kemerdekaan bangsa sepenuhnya.


Sejarah sebagai Inspirasi

Berbagai peristiwa masa lalu dapat memberikan inspirasi (ilham) pada generasi berikutnya. Masa sekarang dan yang akan datang tidak akan terlepas dari masa lalu karena waktu merupakan sebuah garis linier, tidak ada suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, tidak ada peristiwa masa kini yang terputus dari peristiwa masa lampau. Dengan memahami masa lalu manusia dapat menarik benang merahnya dengan masa kini, contoh seseorang menjadi anggota TNI setelah terinspirasi oleh kepahlawanan Jendral Sudirman.


Sejarah sebagai Rekreasi

Setiap sejarah selalu bersamaan dengan unsur kebudayaannya, sehingga ketika membicarakan sejarah sering dikaitkan dengan benda peninggalan masa lampau seperti candi, keraton, patung dan benda budaya lainnya. Orang mengunjungi keraton, candi atau museum sebetulnya orang tersebut telah menjadikan sejarah dengan fungsi (kegunaan) rekreasi(hiburan). Banyak buku-buku sejarah yang ditulis, termasuk di dalamnya biografi ataupun auto biografi, semua itu merupakan sejarah sebagai kisah. ketika orang membaca kemudian menjadi senang dan tertarik karena tulisan dan gaya bahasanya yang komunikatif. sehingga pembaca dapat berimajinasi dengan isi bacaan buku-buku sejarah tersebut, maka sejarah mempunyai guna rekreatif (hiburan) seperti layaknya orang membaca sebuah buku novel (Kuntowijoyo, 1995).

 

Sejarah sebagai Ilmu

Sejarah dibawakan oleh sejarawan melalui proses heuristic (pencarian fakta), dilanjutkan dengan kritik sumber, proses interpretasi (penafsiran), diproses berdasarkan subjektifitas sejarawan dalam memahami sebuah peristiwa sejarah, dan ditulis menjadi sebuah catatan. Catatan itulah yang disebut sebagai sejarah itu sendiri. Jadi sejarah dan masa lampau merupakan suatu hal yang berbeda tetapi berkaitan. Sejarah sendiri adalah kumpulan fakta peristiwa yang telah dipastikan. Sebuah peristiwa akan menjadi sebuah sejarah tergantung pada pandangan sejarawan, sebagaimana diumpakan oleh E.H.Carr dalam buku Apa Itu Sejarah (2014). Fakta- fakta sejarah bagaikan sebuah ikan di penjual ikan, sejarawan akan mengumpulkannya, membawa nya pulang, serta memasak dan menyajikannya dengan gaya apapun yang menarik baginya. Jadi jika kita pikirkan secara mendalam maksud dari perumpaaan diatas adalah bahwa sebuah karya sejarah akan muncul sesuai dengan sudut pandang atau keinginan sejarawan tersebut dalam penulisannya. Jadi jelaslah bahwa fakta sejarah yang dapat menghasilkan penggambaran yang berbeda dari suatu peristiwa sejarah, hal tersebut didasarkan pandangan yang berbeda dari setiap Sejarawan berdasarkan subjektifitasnya.

 

Sejarah dikatakan sebagai ilmu, jika memiliki syarat yaitu empiris, memiliki objek, memiliki teori, generalisasi dan memiliki metode:

a) Sejarah Itu Empiris

Sejarah itu empiris mempunyai arti pengalaman, menurut Kuntowijoyo (1995), “empiris berasal dari kata “Empiria” Yunani yaitu pengalaman”. Mengapa sejarah itu empiris? Sejarah berasal dari pengalaman yang masih tercatat oleh memori kita.


Pengalaman yang tadi telah diamati dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan itulah yang diteliti keabsahannya oleh sejarawan untuk menentukan fakta. Fakta itu ditafsirkan secara berbeda-beda. Jika suatu ilmu alam memiliki objek yang pasti. Sedangkan sejarah menjadikan bukti sebagai objeknya.

 

Letak perbedaan ilmu alam dan sejarah dilihat dari bagaimana mereka mangamati objeknya bukan dari cara kerjanya. Jika dalam ilmu alam mereka bisa mengulang-ulang percobaan tentang suatu hal, akan tetapi dalam sejarah, hal itu tidak bisa dilakukan, karena sejarah itu hanya terjadi satu kali karena bersifat pengalaman, seperti pada saat proklamasi. Kejadian ini tidak bisa terjadi kembali dan diulang-ulang untuk diteliti. Hal ini yang menjadi sebab muncul pebedaan pendapat dari para sejarawan dalam mendiskripsikan suatu peristiwa tersebut. Karena kebenaran dalam sejarah hanya ada pada peristiwa itu semdiri (Kartodirdjo,2017:38).

 

b) Sejarah Memiliki Objek

Berbeda dari sosiologi, antropologi, dan ilmu sosial lainnya. Sejarah mempelajari manusia dan perubahannya yang dipengaruhi oleh waktu (diakronis). Jika lebih dikhususkan, objek penelitian sejarah adalah manusia. Akan tetapi waktu sangat berperan penting dalam proses pembelajaran sejarah. Kebanyakan sejarawan bingung bagaimana menentukan waktu terjadinya sejarah tersebut. Kebanyakan sejarawan hanya mengira-ngira waktu terdekat saat peristiwan itu terjadi karena informasi yang didapatkan sangat minim dan peristiwa tersebut tidak bisa terulang kembali.

 

Apakah Sejarah Memiliki Teori? Seiring dengan munculnya banyak filsafat sejarah di muka bumi. Tentu saja, hal ini juga memicu munculnya teori-teori tentang sejarah. Teori yang terdapat dalam sejarah ini berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain, contohnya saja di Amerika yang beroriantasi pragmatis sedangkan di Belanda mempunyai tradisi kontinental yang lebih kontemplatif. Ini mengakibatkan di universitas-universitas Amerika yang berorientasi pragmatis, tidak diajarkan teori sejarah yang bersifat filosofis. Sebaliknya, di Belanda mempunyai tradisi kontinental yang lebih kontemplatif, sehingga teori sejarah yang bersifat filosofis diajarkan (Ankersmith,1987).


Sejarah Memiliki Generalisasi

Generalisasi berasal dari bahasa latin generalis yang berarti umum. Ilmu sejarah juga menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Hanya saja perlu diingat kalau ilmu-ilmu lain bersifat nomotetis, sejarah itu pada dasarnya bersifat ideografis. Kalau sosiologi membicarakan masyarakat di pojok jalan atau antropologi membicarakan pluralisme amerika, mereka dituntut untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum yang berlaku dimana-mana dan dapat dianggap sebagai kebenaran umum. Maka, sejarah mengajukan penjelasan yang unik dan berlaku dalam kurun waktu dan batasan tertentu (Kartodirdjo,2017).


Sejarah Memiliki Metode

Perkembangannya ternnyata sejarah memiliki metode yang digunakan dalam penelitiannya, berupa teknik penelitian atau alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, sedangkan metodologi adalah falsafah tentang proses penelaian yang di dalamnya mencakup asumsi-asumsi, nilai-nilai, standar atau kriteria yang digunakan utuk menafsirkan data dan mencari kesimpulan. Jadi dengan adanya metode yang digunakan dalam sejarah inilah akan mempermudah sejarawan untuk mengumpulkan data dari suatu kejadian. (Kuntowijoyo,2005).

 

Apa saja Teori Gerak Sejarah? Teori Gerak Sejarah Menurut Hukum Fatum. Pada dasarnya alam raya sama dengan alam kecil yaitu manusia. Macro cosmos sama dengan micro cosmos. Cosmos menunjukkan bahwa alam teratur dan di alam itu hukum alam berkuasa. Hukum yang berlaku dalam macro dan micro cosmos yaitu alam raja dan alam manusia dikuasai oleh nasib (kadar) yaitu suatu kekuatan gaib yang menguasai macrocosmos-microcosmos.

 

Perjalanan hidup alam semesta ditentukan oleh nasib; perjalanan matahari, bulan, bintang, manusia dan sebagainya. Tak dapat menyimpang dari jalan yang sudah ditentukan oleh nasib. Hukum alam yang menjadi dasar dari segala hukum cosmos ialah hukum lingkaran atau hukum cyclus (siklus). Setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi. Hukum cyclus di Indonesia di sebut dengan cakra manggilingan yang berarti bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari cakram itu dan bahwa segala kejadian-peristiwa berlangsung dengan pasti. Cakram adalah lambang nasib (kadar) yang berputar terus serba abadi tanpa putus.

 

Arti Cakra manggilingan ialah bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari cakram itu, bahwa segala kejadian/peristiwa berlangsung dengan pasti (Sutrasno, 1957). Cakram adalah lambang nasib (qadar) yang berputarterus serba abadintanpa henti putusnya. Manusia terikat dengan cakram itu, hidup bergerak naik turun seirama dengan gerak irama cakram di jagat raya, sesuai dengan gerak cakram jagat kecil. Nasib (qadar) adalah kekuatan tunggal yang menentukan gerak sejarah, manusia hanya menjalani dan menjalankan qadarnya.

 

Zaman lampau telah terjadi menurut kodrat alam, terlaksana menurut qadar. Zaman yang akan datang akan terjadi seperti telah dikodratkan manusia tidak akan dapat mengubah qadar itu. Qadar, nasib atau fatum bagi alam fikiran Yunani merupakan kekuatan tunggal. Oleh karena itu kejadian/peristiwa sejarah dari masa itu melukiskan kejadian/peristiwa yang tergantung pada qadar. Sifat cerita sejarah ialah realistis, menurut kenyataan.

  

Treori Gerak Sejarah menurut Santo Agustinus. Faham fatum Yunani kemudian menjelma dalam agama Nasrani sebagai faham ketuhanan dengan sifat-sifat yang sama:

1) Kekuatan tunggal fatum menjadi Tuhan

2) Serba keharusan, menurut rencana alam, menurut ketentuan faham menjadi kehendak Tuhan

3) Sejarah sebagai wujud qadar menjadi sejarah sebagai wujud kehendak Tuhan.

 

Kesimpulan dari penjelmaan hukum cakra manggilingan, ialah bahwa manusia tidak bebas menentukan nasibnya sendiri. Ia menerima nasib dari Tuhan, apa yang diterima sebagai kehendak Tuhan. Tuhan sudah menentukan perjalanan hidup yang sudah ditentukan Tuhan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tuhan sudah menentukan perjalanan hidup manusia dan alam, manusia tidak dapat mengubah garis hidup yang sudah ditentukan. Bagi alam fikiran Yunani manusia menerima segala sesuatu dengan amor fati (gembira), bagi alam kodrat ilahi pemberian Tuhan diterima dengan fiat voluntas tua (kehendak Tuhan terlaksanalah).

 

Santo Agustinus menghimpun suatu teori sejarah berdasarkan fiat voluntas tua itu. Gerak sejarah dunia diibaratkan riwayat hidup manusia, babakan waktu disusun menurut tingkatan-tingkatan hidup manusia:

 

Tabel 1 Babakan Waktu Menurut Santo Agustinus

No

 

Istilah

 

Artinya

Zaman

1

intifia

 

Bayi

 

Adam sampai Nuh

2

pueritia

Kanak-kanak

Sem, Jafet

3

adulescentia

Pemuda

Ibrahim sampai Daud

4

inventus

Kejantanan

Daud

5

gravitas

Dewasa, dewasa bijaksana

Babilonia

6

kiamat

Tua

 

Pemilihan antara baik- jahat


Tujuan gerak sejarah ialah terwujudnya Kehendak Tuhan, yaitu Civitas Dei atau Kerajaan Tuhan. Bila Civitas Dei itu akan menjadi wujud belum diketahui, yaitu sebelum dan sesudah kiamat, tetapi nyatalah bahwa Tuhan akan mengadakan pemilihan, barang siapa taat dan menerima kehendak Tuhan di terima di sorga, barang siapa menentang kehendak Tuhan akan menjadi penduduk neraka atau jahanam.

 

Masa sejarah adalah masa percobaan, masa ujian bagi manusia. Kehendak tuhan harus diterima dengan rela dan ikhlas, manusia tidak dapat melepaskan diri dari dari kodrat ilahi. Keharusan kodrat ilahi menurut faham ini ditambah dengan ancaman di akhirat, masuk civitas diaboli (kerajaan iblis) atau neraka.

 

Zaman lampau sebagai perwujudan kehendak Tuhan adalah cermin atau hikmah untuk mengetahui kodrat ilahi. Zaman yang akan datang adalah masa medan perjuangan untuk mendapat tempat di Civitas Dei. Maka peri kehidupan manusia ditujukan kepada Civitas Dei, kepada akhirat, kecemasan dan ketakutan meliputi seluruh alam fikiran itu. Apakah nasib yang akan diterima kelak? Fiat Voluntas tua, kehendak Tuhan terlaksanalah! Manusia menyerah kepada kehendak Tuhan, ia menerima segala sesuatu, menyerahkan nasib kepada gereja.

 

Demikianlah pandangan sejarah Eropa di masa abad pertengahan (midlle ages), manusia hanya menanti-nantikan kedatangan Civitas Dei. Gerak sejarah bermata air kodrat ilahi dan bermuara pada Civitas Dei.

 

Bagaiman Teori Gerak Sejarah menurut Ibn Khaldun? Ibnu Kholdun (1332-1406) adalah seorang sarjana Arab yang ternama, ialah yang dapat dipandang sebagai ahli sejarah yang paling pertama. Teorinya didasarkan pada kehendak Tuhan sebagai pangkal gerak sejarah seperti Santo Agustinus, akan tetapi Ibnu Kholdun tidak memusatkan perhatiannya kepada akhirat. Baginya sejarah adalah ilmu berdasarkan kenyataan, tujuan sejarah ialah agar manusia sadar akan perubahan-perubahan masyarakat sebagai usaha penyempurnaan peri kehidupannya. Pendapat Ibnu Kholdun tertuang dalam bukunya An Arab Philosophy of history translated and arranged by Charles Issawi MA, halaman 26-30:

Sejarah ialah kisah masyarakat manusia atau kisah kebudayaan dunia, yaitu kisah perubahan-perubahan yang terjadi karena kodrat masyarakat itu seperti masa kebiadaban, masa saling membantu terus ke masa persatuan golongan, kisah revolusi, pemberontakan yang timbul antara bangsa dengan bangsa dan kisah kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang timbul karena revolusi dan pemberontakan itu, kisah kegiatan dan pekerjaan manusia, yaitu pekerjaan untuk mendapatkan nafkah, atau kegiatan dalam macam-macam ilmu dan usaha, dan umumnya kisah dari perubahan yang terjadi karena kodrat manusia. Keadaan dunia dan keadaan negara-negara dan adat lembaganya serta cara-cara penghidupannya (produksi) tidak tinggal tetap dan bersifat kekal (tak berubah) akan tetapi terus berubah sepanjang masa dan berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Demikian halnya manusia, waktu, kota-kota mengalami perubahan, maka iklim, masa, daerah dan negara juga akan mengalami perubahan itulah hukum yang telah ditentukan oleh Allah untuk para mukmin (Ali, 2005).

 

Ibnu Kholdun dengan tegas menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat karena qadar Tuhan, yang terdapat dalam masyarakat adalah “naluri” untuk berubah. Justru perubahan-perubahan itu berupa revolusi, pemberontakan, pergantian lembaga, dsb, maka masyarakat dan negara akan mengalami kemajuan. Manusia dan semua lembaga-lembaga yang diciptakannya dapat maju karena perubahan. Ibnu Kholdun dengan tegas menyatakan perubahan sebagai dasar kemajuan dan itulah yang kemudian disebut teori evolusi (teori kemajuan) yang dicetuskan oleh Charles Darwin.

 

Perbedaan antara teori Santo Agustinus dan Ibnu Kholdun tampak dari akhir tujuan terakhir. Agustinus mengakhiri sejarah dengan dwitunggal sorga-neraka, bagi Ibnu Kholdun sejarah menuju ke arah timbulnya beraneka warna masyarakat, negara dengan manusianya menuju ke arah kesempurnaan hidup. Teori Agustinus menciptakan manusia menyerah, teori Ibnu Kholdun mendidik manusia menjadi pejuang yang tak kenal mundur. Puncak gerak sejarah ialah umat manusia bahagia dengan beraneka ragam masyarakat, negara, kesatuan hidup lainnya yang sempurna.


Teori Renaissance dan Pandangan Evolusi dalam Gerak Sejarah. Pada masa renaissance pengaruh gereja mulai berkurang. Perhatian manusia berubah dari dunia-akhirat ke dunia-fana, kepercayaan pada diri pribadi sendiri bertambah dalam diri manusia. Sifat menyerah pada nasib berkurang dan harga diri memperkuat semangat otonom manusia. Semangat otonom itulah yang mendorong manusia ke arah pengertian tentang kehendak Tuhan.

 

Kemajuan ilmu pengetahuan seirama dengan kemajuan filsafat dan teknik mengakibatkan timbulnya alam fikiran baru di Eropa. Manusia lambat laun melepaskan diri ari agama serta berani mengembangkan semangat otonom. Sumber gerak sejarah tidak di cari di luar pribadinya, tetapi dicari dari dalam diri sendiri. Hubungan dengan cosmos diputus, ikatan dengan Tuhan ditiadakan, manusia berdiri sendiri (otonom).

 

Gerak sejarah berpangkal pada kemajuan (evolusi), yaitu keharusan yang memaksa segala sesuatu untuk maju. Manusia melenyapkan sorga-neraka sebagai tujuan, tujuan fatum yang serba tidak tentu diberi batasan yang jelas. Gerak sejarah menuju ke arah kemajuan yang tidak ada batasnya. Evolusi tak terbatas adalah tujuan manusia. Abad ke- 18 dan 19 merupakan masa revolusi jiwa yang luar biasa, yaitu suatu revolusi yang mematahkan kekuatan heteronomi. Hukum siklus yang mengekang daya pencipta lenyap kekuatannya. Lingkaran cakra manggilingan diterobos dan gerak sejarah tidak berputar- putar lagi, tetapi maju menurut garis lurus yang tidak ada akhirnya.

 

Sejarah adalah medan perjuangan manusia dan cerita sejarah adalah epos perjuangan ke arah kemajuan. Dengan ilmu pengetahuan, taknik, filsafat alam sekitarnya diselidiki dengan semangat evolusi. Mitos evolusi menjadi sumber dinamika yangdahsyat dan mengeluarkan manusia dari alam rohaniah. Evolusi berarti evolusi jasmaniah, evolusi kebendaan, evolusi duniawi, kefanaan, misalnya kemajuan teknik: kapal api, kereta api, pabirk, dsb. Gerak sejarah tidak menuju ke akhirat, tetapi ke arah kemajuan duniawi, maka dalam dunia yang seolah-olah tidak memerlukan Tuhan lagi itu, timbullah faham-faham baru yang berpedoman pada evolusi tak terbatas, diantaranya faham historical materialism atau economic determinism.

 

Faham historical materialism menerangkan bahwa pangkal gerak sejarah ialah ekonomi, gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang kebutuhan masyarakat (produksi). Cara produksi menentukan perubahan dalam masyarakat, perubahan itu ditimbulkan oleh pertentangan kelas. Gerak sejarah terlaksana dengan pasti menuju ke arah masyarakat yang tidak mengenal pertetangan kelas. Tujuan sejarah ialah menciptakan kebahagiaan untuk setiap manusia, kelas manusia istimewa akan lenyap pada saat amsayarat tanpa kelas dapat diwujudkan.

 

Manusia pada dasarnya tidak bebas, tidak otonom dalam arti luas. Semua perubahan terjadi tanpa persetujuan manusia, manusia hanya dapat mempercepat jalan gerak sejarah dan tidak dapat mengubah atau menahan gerak sejarah. Kebebasan manusia sangat terbatas oleh keharusan ekonomi. Gerak sejarah tidak memerlukan Tuhan, tidak memerlukan fatum, tidak memerlukan manusia agar dapat terlaksana. Sejarah berlangsung dengan sendirinya, yaitu karena pertentangan kelas. Gerak sejarah bersifat mekanis, seperti jam tangan yang setelah diputar berjalan dengan sendirinya, manusia menjadi alat dari dinamika ekonomi.

 

Demikianlah secara singkat faham historical materialism (Croce, 2008: 6-13) yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Frederick Engels (1820-1895). Jelaslah bahwa otonomi yang dibanggakan manusia abad 19 sebetulnya hanya pembebasan dari Tuhan dan penambatan dari hukum ekonomi. Dunia yang tersedia ini tidak untuk difikirkan, tetapi harus diubah menurut kehendak manusia menurut hukum alam. Sejarah menjadi perjuangan manusia untuk menciptakan dunia baru guna kebahagian manusia. Pada abad ke-20 historical materialism diperjuangkan oleh Partai Komunis.


Bagimana Sifat Gerak Sejarah? Dari teori-teori yang memberikan arah dan tujuan gerak sejarah dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Tanpa arah tujuan, seperti terdapat dalam alam fikiran Yunani berdasarkan hukum fatum, teori ini kemudian diperluas dan diperdalam oleh Oswald Spengler. Gerak sejarah berputar-putar, berputar-putar dan tidak terdapat sesuatu yang baru. Setiap kejadian, peristiwa, fakta pasti akan terjadi lagi seperti yang sudah-sudah.

b) Pelaksanaan kehendak Tuhan, gerak sejarah ditentukan oleh kehendak Tuhan dan menuju ke arah kesempurnaan manusia menuju kehendak Tuhan. Manusia hanya menerima ketentuan itu dan tidak dapat mengubah nasibnya. Akhir gerak sejarah adalah Kerajaan Tuhan (Civitas Dei) bagi yang dapat diterima Tuhan dan kerajaan setan (Civitas Diaboli) bagi yang ditolak oleh Tuhan.

c) Ada juga yang berpendapat bahwa ikhtiar, usaha dan perjuangan manusia dapat menghasilkan perubahan nasib yang sudah ditentukan Tuhan, maka gerak sejarah merupakan perimbangan antara kehendak Tuhan dengan usaha manusia. Aliran ini merupakan perpaduan otonomi dan heteronomi.

d) Evolusi dengan kemajuan yang tidak terbatas, gerak sejarah membawa manusia setingkat demi setingkat terus ke arah kemajuan. Dengan senang hati manusia melaksanakan gerak sejarah dengan penuh harapan akan mengalami kemajuan yang tidak terhingga. Alam semesta harus dan dapat dikuasai oleh manusia. Semakin meningkat, semakin luas dan dalam pengetahuan manusia dan makin berkuasalah ia.Aliran inilah yang sangat berpengaruh terhadap gerak sejarah di dunia Barat, sehingga bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika menglami kemajuan yang pesat.

e) Disamping faham evolusi terdapat pula faham historical materialism yang menentukan masyarakat tanpa kelas adalah tujuan sejarah. Masyarakat tak berkelas itu adalah tujuan gerak sejarah setelah melalui masa kapitalis.

Reaksi terhadap faham evolusi menghasilkan beberapa aliran baru, yaitu:

·          Aliran menuju ketuhanan seperti faham Toynbee, bahwa gerak sejarah itu akan sampai pada masa bahagia apabila manusia menerima Tuhan serta kehendak Tuhan sebagai dasar perjuangannya.

·          Aliran irama gerak sejarah menurut Sorokin yang menyatakan bahwa gerak sejarah tidak bertujuan apa-apa dan bahwa gerak itu hanya menunjukkan datang-lenyapnya atau berganti-gantinya corak; ideational, sensate dan idealistic

·          Aliran kemanusiaan, yaitu suatu aliran yang sangat luas dan berpusatkan pendapat mutlak bahwa manusialah yang terpenting di dunia ini. Gerak sejarah adalah perjuangan manusia untuk mencapai kemajuan yang setinggi mungkin.

 

Bagaiman Konsep Ruang dalam Sejarah ? Sejarah mengenal adanya dimesi spasial dan dimensi temporal. Spasial atau ruang merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa sejarah. Sedangkan temporal atau waktu ini berhubungan dengan kapan peristiwa tersebut terjadi. Sedangkan manusia adalah subjek dan objek sejarah. Manusia sebagai pelaku dan penulis sejarah itu sendiri. Ruang adalah konsep yang paling melekat dengan waktu. Ruang merupakan tempat terjadinya berbagai peristiwa – peristiwa sejarah dalam perjalanan waktu. Penelaahan suatu peristiwa berdasarkan dimensi waktunya tidak dapat terlepaskan dari ruang waktu terjadinya peristiwa tersebut. Jika waktu menitik beratkan pada aspek kapan peristiwa itu terjadi, maka konsep ruang menitikberatkan pada aspek tempat, dimana peristiwa itu terjadi.

 

Masa lampau itu sendiri merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau bukan merupakan suatu masa yang final, terhenti, dan tertutup. Masa lampau itu bersifat terbuka dan berkesinambungan. Sehingga, dalam sejarah, masa lampau manusia bukan demi masa lampau itu sendiri dan dilupakan begitu saja, sebab sejarah itu berkesinambungan apa yang terjadi dimasa lampau dapat dijadikan gambaran bagi kita untuk bertindak dimasa sekarang dan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sejarah dapat digunakan sebagai modal bertindak di masa kini dan menjadi acuan untuk perencanaan masa yang akan datang.

 

Konsep ruang dan waktu merupakan unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu peristiwa dan perubahannya dalam kehidupan manusia sebagai subyek atau pelaku sejarah. Segala aktivitas manusia pasti berlangsung bersamaan dengan tempat dan waktu kejadian. Manusia selama hidupnya tidak bisa dilepaskan dari unsur tempat dan waktu karena perjalanan manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri pada suatu tempat dimana manusia hidup.


Konsep ruang, maksudnya tempat terjadinya peristiwa, jadi terkait dengan aspek geografisnya. Unsur ruang ini akan menjadikan pemahaman kita tentang peristiwa sejarah menjadi riil. (Subagyo, 2011: 14). Contohnya sejarah reformasi Indonesia tahun 1998. Banyak sejarawan mencantumkan Jakarta sebagai tempat terjadinya peristiwa tersebut. Demikian, keberadaan Jakarta dalam peristiwa sejarah reformasi Indonesia sangatlah penting.

 

Tidak ada peristiwa yang berlangsung tanpa medium ruang. Segala peristiwa terjadi di dunia berlangsung dalam ruang atau wilayah tertentu. Segala tindakan dan perilaku manusia terjadi di tempat atau lokasi tertentu. Adanya ruang membuat pemahaman kita tentang pristiwa sejarah menjadi nyata. Selain itu, memungkinkan orang membuat kategorisasi peristiwa sejarah berdasarkan tempat, seperti sejarah lokal, sejarah daerah, sejarah nasional, sejarah wilayah, dan sejarah dunia (Ratna Hapsari & M Adil, 2017: 11).

 

Di dalam KBBI disebutkan pengertian ruang adalah sela-sela antara dua deret tiang atau sela-sela empat deret tiang, atau yang juga diartikan sebagai rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang, atau juga rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada. Dalam sejarah, ruang atau tempat merupakan unsur penting yang harus ada. Bila diibaratkan sebuah pertunjukkan, maka ruang merupakan panggung ketika peristiwa sejarah berlangsung. Ruang atau tempat terjadinya peristiwa sejarah terkait dengan unsur geografis. Akan tetapi, ruang atau tempat tersebut bukanlah ruang yang steril. Dengan demikian, suatu peristiwa sejarah merupakan proses interaksi dengan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi pada suatu ruang atau tempat tertentu (Hermawan & Ufi Saraswati, 2014: 7-8).

 

Saat terjadi perlawanan terhadap Belanda misalnya, maka harus ditegaskan kapan dan di mana penjajahan tersebut berlangsung. Perang Diponegoro dan Perang Padri terjadi pada waktu yang beriringan, akan tetapi keduanya terjadi pada ruang dan tempat yang berbeda. Oleh sebab itu kedua peristiwa ini memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang berbeda serta memiliki keunikan sendiri.

 

Konsep ruang dalam sejarah berkaitan dengan lokasi atau tempat terjadinya suatu peristiwa sejarah. Konsep ruang dalam sejarah menyebabkan adanya pembagian sejarah. Jika mempelajari sejarah menggunakan konsep ruang, kita akan dapat menganalisis dan membandingkan pola kehidupan di suatu daerah, termasuk pola pikir dan pola perilaku masyarakat setempat (Rachmawati, 2016: 2).

 

Peristiwa ataupun kejadian dari masa yang lalu selalu berlangsung dalam batasan ruang atau tempat tertentu. Unsur ruang yang menjadi tempat terjadinya peristiwa akan memberikan gambaran jelas kepada kita bahwa peristiwa itu memang ada dan nyata (Ratna Hapsari & M Adil, 2016: 8).

 

Lalu apa dan bagimana Konsep Waktu dalam Sejarah? Konsep waktu dalam sejarah mempunyai arti kelangsungan (continuity) dan satuan atau jangka berlangsungnya perjalanan waktu (duration). Kelangsungan waktu atas kesadaran manusia terhadap waktu dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: (1) Waktu yang lalu atau the past, menyusul, (2) Waktu sekarang atau the present, dan berlanjut, (3) Waktu yang akan datang atau the future.

 

Waktu (dimensi temporal) memiliki dua makna, yaitu makna denotati dan konotatif. Makna waktu secara denotatif merupakan satu-kesatuan, Yaitu detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad, dan seterusnya. Pada umumnya, berikut konsep waktu dalam memelajari sejarah. Masa lampau itu sendiri merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau bukan merupakan suatu masa yang final, terhenti, dan tertutup. Masa lampau itu bersifat terbuka dan berkesinambungan. Sehingga, dalam sejarah, masa lampau manusia bukan demi masa lampau itu sendiri dan dilupakan begitu saja, sebab sejarah itu berkesinambungan apa yang terjadi dimasa lampau dapat dijadikan gambaran bagi kita untuk bertindak dimasa sekarang dan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sejarah dapat digunakan sebagai modal bertindak di masa kini dan menjadi acuan untuk perencanaan masa yang akan dating.

 

Konsep waktu dalam sejarah, menurut Kuntowijoyo mencakup empat hal, yaitu perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan. Dalam hal perkembangan, sejarah akan melihat dan mecatat peristiwa yang menunjukan terjadinya perubahan dalam masyarakat dari satu bentuk ke bentuk yang lain, biasanya dari yang sederhana ke bentuk yang lebih rumit. Dalam sejarah, juga terjadi kontinuitas atau kesinambungan yang melahirkan kondisi baru, namun tetap diwariskan atau diteruskan karena dianggap baik oleh suatu masyarakat. Dalam sejarah, pengulangan terjadi sebelumnya terulang kembali pada masa sesudahnya atau masa sekarang. Sehingga menghasilkan perubahan yang terjadi karena praktik lama dinilai tidak memadai lagi untuk menunjang kemajuan dan tata kehidupan (Ratna Hapsari & M Adil, 2017:13).

 

Waktu adalah seluruh rangkaian ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung (KBBI Online). Dalam sejarah, unsur waktu merupakan unsur sangat penting. Sebab mempelajari sejarah bukanlah mempelajari sesuatu yang berhenti melainkan mempelajari sesuatu yang terus bergerak seiring dengan perjalanan waktu. Setiap peristiwa sejarah berada pada kurun waktu tertentu yang memiliki latar belakang kurun waktu sebelumnya. Unsur waktu juga memberikan konteks atau setting tertentu bagi berlangsungnya peristiwa sejarah. Oleh sebab itu, dalam mempelajari sejarah, harus ditentukan dengan tegas dan jelas siapa pelakunya, kapan terjadinya, dan dimana peristiwa itu berlangsung (Hermawan & Ufi Saraswati, 2014:8-9).

 

Konsep waktu terbagi menjadi tiga, yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dalam sejarah, konsep waktu yang paling dominan adalah masa lalu. Akan tetapi, konsep waktu pada masa lalu ini juga memengaruhi peristiwa pada masa sekarang.

 

Sebagai contoh, pada masa lalu Republik Indonesia memilih bentuk Negara Kesatuan dengan pertimbangan kemajemukan sosial dan adanya ribuan pulau. Keputusan pemerintah tetap bertahan sampai sekarang. Oleh sebab itu, keputusan pemerintah pada masa lalu berpengaruh terhadap perkembangan negara pada masa sekarang dan masa depan (Rachmawati, 2016: 2).

 

Konsep waktu dalam sejarah meliputi dua hal, yakni (1) proses kelangsungan dari suatu peristiwa dalam batasan waktu tertentu, (2) kesatuan kelangsungan waktu, yaitu waktu pada masa yang lampau, sekarang, dan masa yang akan datang. Sebagai contoh, pemerintahan Orde Baru yang mengalami kemunduran dengan peristiwa mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998. Atau contoh lain, pembacaan naskah proklamasi oleh Bung Karno pada pukul 10.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945 (Ratna Hapsari & M Adil, 2017:8).

 

Perspektif waktu merupakan dimensi yang sangat penting dalam sejarah. Sekalipun sejarah itu erat kaitannya dengan waktu lampau, tetapi waktu lampau itu terus berkesinambungan. Sehingga perspektif waktu dalam sejarah, ada waktu lampau, kini dan yang akan datang. Waktu akan memberikan makna dalam kehidupan dunia yang sedang dijalani sehingga selama hidup manusia tidak dapat lepas dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri. Konsep waktu dalam sejarah mempunyai arti kelangsungan dan satuan atau jangka berlangsungnya perjalanan waktu (Herimanto & Eko Targiyatmi, 2017:5-6).

 

Apa dan bagaimana Perubahan dalam Sejarah? Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting, agar kekhawatiran tentang subyektifitas sejarah dalam pembelajaran sejarah tidak mengorbankan ilmu sejarah. Sebagaimana pandangan Abdullah (1996) bahwa sejarah sebagai alat pemupuk ideologi, betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisa meniadakan validitas dari apa yang akan disampaikan. Pemisahan kurikulum antara sejarah “kognitif” (pengetahuan) dengan yang “afektif” (perasaan) yang pernah dilakukan, bukan saja artifisial, tetapi juga memperlihatkan kemandulan dalam pemikiran kesejarahan. Seakan-akan, sejarah yang diketahui tidak bertolak dari keingintahuan yang obyektif, demi didapatkan kearifan yang afektif.

 

Mengutip pernyataan dari Elton, sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan bahkan para pendidik, terhadap alasan mengkaitkan sejarah dengan proses pendidikan. Proses pendidikan sejarah dianggap hanya menjadi sumber kecenderungan etnosentris bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu, Namier berpendapat bahwa peran sejarah sebagai “moral precepts” atau ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi sebagai legitimasi doktrin atau ideologi tertentu (Elton dalam Widja, 1997).

 

Selain itu, Mahasin berpandangan bahwa kritik umum kepada pendukung nilai edukatif sejarah dalam penanaman nilai-nilai sejarah melalui proses pendidikan yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan mendidik itu sendiri yang bersifat ekstrinsik atau instrumental. Padahal dalam teori belajar yang lebih utama adalah nilai instrinsik. Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental dalam pendidikan sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai sejarah sebagai landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang sudah ditentukan sebelumnya (predefined person) baik dalam rangka “cultural transmission” maupun dalam penyiapan “moral precepts” bagi generasi baru. Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul kecenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau yang pada gilirannya memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah demi kepentingan masa kini atau kecenderungan presentisme. Pengaburan seperti ini bisa mendorong generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir secara kreatif merencanakan bangunan masa depannya (Mahasin dalam Widja, 1997).

 

Menurut Abdullah (1996) jika disimpulkan, sejarah sebagai wacana intelektual akan tampil secara bertahap dengan berbagai wajah. Pertama, sebagai sejarah yang bernada moralistik, yang merupakan pertanggungjawaban rasional akan keharusan hidup bermasyarakat. Kedua, sejarah sebagai alat pengetahuan praktis, yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui struktur hari dan dunia kini dan ketiga, sejarah sebagai pembimbing kearah pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong untuk memungkinkan terjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakan jaman yang melintas dalam pengalaman hidupnya atau alat untuk memahami dunia intellegency.

 

Pengajaran sejarah penting dalam pembentukan jiwa patriotisme dan rasa kebangsaan. Suatu pengetahuan sejarah yang ditunjang pengalaman praktis warga negara yang baik di sekolah membantu memperkuat loyalitas dan membantu anak-anak menemukan dirinya dengan latar belakang sejarah luas (Jarolimek, 1971). Rowse (1963) menegaskan bahwa sejarah adalah suatu mata pelajaran yang bernilai pendidikan tinggi. Sementara itu Collingwod (1973) mengatakan bahwa nilai sejarah adalah mengajarkan kepada kita tentang manusia dan apa yang telah dilakukannya. Dalam konteks pembentukan identitas nasional, pengetahuan sejarah mempunyai fungsi fundamental (Kartodirdjo, 1993).

 

Pada perkembangannya, pendidikan sejarah sangat bergantung pada ilmu sejarah. Siswa sebagai objek didik tentu membutuhkan pengetahuan dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks tentang, apa itu sejarah? sebelum mereka mempelajari rentetan peristiwa dalam sejarah. Dalam konteks itu, ilmu sejarah sendiri secara alamiah memfokuskan diri pada kajian tentan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau dengan tujuan mengambil hikmah. Masa lampau memiliki pengertian yang sangat luas, bisa berarti satu abad yang lalu, puluhan tahun yang lalu, sebulan yang lalu, sehari yang lalu atau sedetik yang lalu, bahkan waktu sekarang ketika sedang membaca tulisan ini akan menjadi masa lampau. Kita harus menyadari bahwa rangkaian peristiwa sejarah sejak adanya manusia sampai sekarang adalah peristiwa yang berkelanjutan atau berkesinambungan (continuity) dari satu titik ke titik selnjutnya.

 

Selain membahas manusia dan masyarakat, sejarah juga melihat hal lain, yaitu waktu. Waktu menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah. Sehubungan dengan konsep waktu, dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2001) meliputi perkembangan, keberlanjutan/ kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Disebut mengalami perkembangan apabila dalam kehidupan masyarakat terjadi gerak secara berturut-turut dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Perkembangan terjadi biasanya dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Misalnya adalah perkembangan demokrasi di Amerika yang mengikuti perkembangan kota. Pada awalnya masyarakat di Amerika tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil itulah tumbuh dewan-dewan kota, tempat orang berkumpul. Dari kota kecil itu mengalami proses menjadi kota-kota besar sehingga menjadi kota metropolitan. Di sini, demokrasi berkembang mengikuti perkembangan kota (Kuntowijoyo, 2001).

 

Misalnya lagi, tulisan sejarah yang mengupas tentang perubahan dan keberlanjutan adalah milik Sartono Kartodirdjo (1984), Peasant Revolt of Banten 1888. Tulisan-tulisan Sartono sangat mudah dibedakan karena memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang lain. Pertama, tulisan-tulisan Sartono selalu mengusung tema-tema sosial, sejarah sosial, dan masyarakat. Berbeda dengan tulisan kebanyakan waktu itu yang mengusung tema politik dan sejarah orang besar. Pada waktu itu sejarwan UI, Nugroho Notosusanto merupakan sejarawan yang dekat dengan pemerintah merupakan pelopor sejarah politik dan militer. Kedua, pendekatan yang digunakan Sartono dalam setiap penulisannya yang disebutnya sebagai multidimensional approach, pendekatan ilmu-ilmu sosial yang mempunyai eksplanasio lebih kuat. pemikiran Sartono ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Annales di Perancis. Namun demikian AB. Lapian (1996), menuturkan bahwa Sartono tidak secara sengaja membuat mazhab “Sartono”. Sartono menekankan kerja metodologis dan pendekatan yang integratif, sehingga bisa keluar dari penulisan sejarah konvesional yang menitik beratkan pada politik dan narasi deskriptif. Pendekatan multidimensional dan ilmu-ilmu sosial yang dipeloporinya merupakan bagian dari cara kerjanya untuk keluar dari kerangka sejarah kolonial (Kartodirdjo, 1967).

 

Ide dan gagasan ini secara tidak langsung memengaruhi pemikiran dan gaya penulisan sejarah murid-muridnya. Seperti diketahui bahwa setelah menamatkan kuliahnya di UI, dia memilih UGM sebagai media menyebarkan ide dan gagasannya. Sejak tahun 1956 Sartono mengajar di jurusan sejarah UGM. Di kampus inilah Sartono menyemaikan bibit pemikiran dan gagasannya. Sudah banyak akademisi dan sejarawan besar yang lahir berkat tangan dinginnya. Sebut saja Prof. T. Ibrahim Alfian, , Prof. Soehartono, Prof. Djoko Soeryo, dan Prof. Taufik Abdullah. Dari beberapa mahasiswanya tersebut kemudian menyebar ke berbagai kampus di luar UGM, misalnya Muhammad Gde Ismail di Universitas Syiah Kuala Aceh, Mestika Zeid di Padang, AA Gde Putra Agung di Udayana Bali, dan Soedharmono di UNS, Djuliati Soeroyo di Undip. Disadari atau tidak masing-masing dari mereka mengembangkan corak pemikiran Sartono.


Untuk meyakinkan pengaruh pemikiran Sartono pada muridnya mungkin bisa kita analisis dari disertasi yang dipromotori Sartono. Disertasi Ibrahim Alfian yang mengangkat Perang Aceh, perlawanan rakyat Aceh yang berlangsung terus menerus menghadapi Belanda. Dalam disertasinya Alfian membagi perlawanan rakyat Aceh dalam empat fase. Pertama, fase 1873-1875 disaat perang dipimpin langsung oleh para Sultan. Kedua, fase yang berlangsung antara tahun 1876-1896 disaat kepemimpinan beralih pada ulubalang dan Sultan hanya sebagai simbol pemersatu. Ketiga, fase 1896- 1903 ketika ulama juga turut mengambil peran dalam perang Aceh, fase ini berakhir dengan ditandai menyerahnya Tuanku Muhammad Daud Syah. Fase keempat merupakan fase dimana terjadi pertempuran besar dibeberapa tempat, mulai dari Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Melalui fase-fase ini Ibrahim Alfian menggunakan pendekatan analisis struktural sehingga perang Aceh dilihat sebagai proses yang berlapis- lapis bukan sekedar peristiwa tungal. Selain itu juga tidak terlewatkan aspek social masyarakat, termasuk juga ideologi yang melatar belakangi munculnya perang dan perlawanan (Alfian, 1989).

 

Satu lagi disertasi yang menjadi bimbingan Sartono, adalah karya Soehartono yang membahas perubahan sosial yang terjadi di Surakarta melalui sistem apanage dan bekel. Soehartono (1991) mengungkapkan bahwa dengan adanya sistem apanage yang diterapkan mengakibatkan perang desa. Sistem apanage yang tidak bisa dilepaskan dengan struktur sosial, pola penguasaan tanah yang bertumpu pada hubungan patron- client, dan konsep priyayi-wong cilik. Soehartono menguraikan secara penuh dalam babnya mengenai perubahan sosial yang berlangsung akibat sistem apanage. Keresahan di kalangan pedesaan sebagai pemicu konflik. Tulisan Soehartono jelas dikategorikan sebagai sejarah sosial dengan latar belakang permasalahan agraria. Topik sejarah sosial dan pedesaan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Sartono.

 

Cicero, seorang filsuf Romawi mengungkapkan bahwa barang siapa yang tidak mengenal sejarahnya akan tetap menjadi anak kecil. Kemudian Sartono Kartodirdjo menambahkan barang siapa yang lupa sama sekali akan masa lampaunya dapat diibaratkan seperti mereka yang sakit jiwa (Kartodirdjo, 1993). Kedua ungkapan tersebut benar adanya. Seperti yang disebutkan Sartono, bahwa mereka yang lupa akan masa lampaunya itu telah kehilangan identitas dan oleh karena itu dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya. Hal itu disebabkan karena kelakuannya yang mungkin sudah tidak menentu dan terlepas dari norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

 

Peristiwa yang terjadi adalah sebuah perubahan dalam kehidupan manusia. Sejarah mempelajari aktivitas manusia dalam konteks waktu. Perubahan yang terjadi pada masa lalu mempengaruhi kehidupan masa kini. Perubahan tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Masa lalu merupakan masa yang telah dilalui oleh suatu masyarakat yang selalu berkaitan dengan konsep- konsep dasar berupa waktu dan ruang. Berkaitan dengan peristiwa sejarah yang merupakan perubahan dalam kehidupan manusia di masa lalu. Dewey (1959) menganjurkan bahwa dalam penulisan sejarah harus menulis masa lampau dalam kaitannya dengan masa sekarang. Sejarah harus bersifat instrumental dalam memecahkan masalah masa kini atau sebagai pertimbangan program aksi di masa yang akan datang. Dengan kata lain Dewey, menyarankan bahwa sejarah harus dapat memecahkan masalah sosial yang aktual yang tengah dihadapi oleh sebuah bangsa.

 

Apa saja Ide sebagai Penentu Sejarah? Marxisme, yang kita kenal sebagai materealisme (historical materialisme), ada anggapan bahwa yang mengubah sejarah, masyarakat dan bangsa bukanlah ide atau gagasan tetapi teknologi, stuktur ekonomi atau penggunaan alat-alat produksi. Marx membagi stuktur masyarakat dalam dua bagian: suprastruktur dan infrastuktur. Suprastruktur adalah bagian yang soft dari sebuah kebudayaan, sedangkan infrastruktur adalah bagian yang hard. Perbandingan antara unsur dalam kebudayaan bisa disamakan dengan software dan hardware yang terdapat pada komputer. Software adalah peralatan komputer itu sendiri. Begitu juga dalam kebudayaan. Yang dibedakan antara program kebudayaan (software) dan kebudayaan itu sendiri (hardware).

 

Yang termasuk infrastruktur suatu kebudayaan, misalnya, struktur ekonomi atau teknologi kebudayaan iti sendiri; sedangkan suprastrukturnya adalah ideologi, kepercayaan, agama, ideas, dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat ditentukan oleh ekonomi. Keadaan ekonomi, misalnya, akan menentukan keadaan kelas; bukan sebaliknya. Agama kita sangat ditentukan oleh posisi ekonomi kita di tengah masyarakat. Versi-versi keberagamaan kita sangat ditentukan oleh letak dalam status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan oleh Marx sebetulnya merupakan antitesis dari apa yang kita bicarakan: bahwa ideas akan menentukan perubahan.

 

Kekuatan sejarah akan sangat ditentukan oleh ideas (gagasan-gagasan). Ideologilah yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial, dan stuktur politik. Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastuktur masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideaslah yang paling menentukan perubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik terhadap Marx dikemukakan oleh Marx Weber (Sztompka, 2004).

 

Suatu masyarakat dikatakan mengalami perubahan sosial jika sistem sosialnya juga berubah. Jadi, dalam perkembangan masyarakat itu, individu tidak berperang apa-apa. Mereka hanyalah poin-poin kecil yang digerakkan oleh sistem sosial, politik, ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan pada masyarakat pada perubahan- perubahan institusi; individu sama sekali tidak memegang peranan. Sebagai contoh utamanya dalam tesis Marx. Namun, Weber membalikkan pandangan ini dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosial dimulai dari perubahan tingkah laku manusia. Perubaan dari human action, perubahan dari tindakan-tindakan manusia yang ada dimasyarakat. Karena itu, banyak ahli menganggapWeber sebagai pendiri dari apa yang disebut sociologi humanis, sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan manusia dalam perubahan-perubahan sosial. Berbeda dengan Marx, Weber berpendapat bahwa superstucture, soft belief system, ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbukti dengan munculnya kapitalisme (Rahmat, 1999).

 

Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang di tegakkan di atas dasar pencarian keuntungan dan tindakan-tindakan rasional. Kata Marx Weber, kapitalisme adalah pengantar menuju masyarakat modern. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, lahir pula institusi-intitusi dan penguasaan-penguasaan baru yang independen. Pandangan baru tentang pasar (market) juga mulai muncul dipermukaan. Menurut Weber, sebagai sebuah sistem sosial, kelahian kapitalisme. Ada sekelompok orang yang perilakunya berbeda dengna kebanyakan orang pada zaman itu. Kapitalisme muncul karena sekelompok orang yang di sebut Weber sangat newentrepreneur (pengusaha-pengusaha baru) melakukan serangkaian tindakan (human action). Tindakan itu didasarkan pada semangat yang disebut semangat kapitalisme. Semangat kapitalisme terdiri dari tiga rukun berikut; Motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud atau sederhana (ascetic orentation), dan semangat misi (ideas of calling).

 

Tahukan apa makna Great Man Theory dalam Sejarah? Teori tentang great individuals (manusia-manusia besar yang mengubah sejarah) dikemukakan oleh beberapa orang. Thomas Carlyle (1841), misalnya, adalah penulis buku Heroes and Hero Worshipers (para pahlawan dan pemujaan pahlawan). Menurut Carlyle, sejarah adalah biografi manusia besar “history of the world is the biography of the great man”. Pada salah satu bagian, dia menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, pahlawan sebagai Nabi. Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai biografi dari manusia-manusia besar. Dia mengatakan, “sejarah universal merupakan sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah bekerja di dunia”. Lebih lanjut, Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia.

 

Ada tiga macam tipe individu di tengah-tengah masyarakat (Rahmat, 1999). Pertama, ada ordinary people (manusia-manusia biasa) seperti kita yang membentuk jaringanjaringan sosial. Masyarakat sebenarnya terdiri dari sekian banyak ordinary people. Kita tidak bisa memasukkan mereka sebagai individu besar untuk mengubah sejarah. Kedua, exceptional actors, yaitu tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa berbuat apa saja dan mempunyai kearifan yang dalam. Mereka bisa memahami apa yang dibutuhkan masayarakat di sekitarnya. Exceptional actors ini termasuk para nabi, pembaharu, dan tokoh sejarah besar. Mereka mempunyai sesuatu yang istimewa yang membedakannya dengan manusia yang lain. Tipe terakhir adalah orang-orang yang berada di antara kedua tipe tadi. Orang seperti ini tidak mempunyai kebijakan dan pengetahuan seperti yang dimiliki oleh exceptional actors, tetapi mereka menduduki posisi penting di masyarakat. Karena itu mereka biasanya disebut holders of exceptional positions. Seseorang, misalnya, yang memiliki kearifan yang rendah, tiba- tiba menjadi presiden. Maka dia pun akan ikut menentukan jalannya sejarah dan dapat mempengaruhi proses perubahan perubahan sosial. Bahkan, sekiranya dia buta huruf seperti seorang kaisar di Afrika, dia dapat menentukan jalannya sejarah, paling tidak di negerinya sendiri.

 

Lalu apa yang dilakukan oleh great individuals itu untuk mengubah sejarah? Ada beberapa type of actions yang dilakukan oleh manusia. Sebagai anggota masyarakat kita berada dalam sebuah spektrum, dari private actions, tindakan orang yang mempengaruhi secara pribadi tetapi tidak begitu banyak yang menimbulkan perubahan sosial, sampai tindakan bersama (collective actions) yang tidak terorganisasi, biasanya dilakukan dengan cara yang buruk. Demonstrasi-demonstrasi yang belakangan marak, biasanya hanya bersifat temporer. Kerusuhan-kerusuhan juga menimbulkan perubahan sosial, tetapi tidak berdampak besar kepada masyarakat sebagai bangsa. Collective actions ini biasanya dilakukan oleh social movement (gerakan-gerakan sosial). Tindakan yang lebih bisa mengubah lagi adalah tindakan-tindakan yang terorganisasi, terencana, dan sudah disiapkan sebelumnya, seperti organizing dan mobilizing. Dalam istilah Bung Karno, ada yang dikenal dengan pembentukan kekuatan dan pemanfaatan kekuatan. Ada sebuah organisasi sosial yang mengorganisasi rencana-rencana mereka membentuk kekuatan dan memanfaatkan kekuatan itu. Tindakan yang paling akhir adalah tindakan- tindakan politik (political action). Seorang great individuals diukur pengaruhnya dari seluruh tindakan ini (Sztompka, 2004).

 

Bagiama Sejarah dalam Pandangan Revolusi? Ketika seluruh bangsa dilanda krisis, semua orang menuntut perubahan. Makin menderita bangsa itu, makin ingin perubahan itu segera terjadi. Revolusi muncul sebagai strategi terbaik. Reformasi dianggap terlalu lamban, sementara perut tidak bisa menunggu. Bila penyakit sosial seperti korupsi sudah berurat berakar dalam seluruh tubuh bangsa, kita memerlukan pembedahan total; yakni, revolusi. Ada kerinduan untuk menyongsong revolusi. Ada kebanggaan dalam gerakan revolusioner. Ada banyak contoh bangsa-bangsa besar lahir dari puing-puing revolusi. Tetapi, pada saat yang sama, ada ketakutan akan kedahsyatan revolusi. Bayangan kita tentang revolusi itu ambigu. Pada satu sisi, revolusi dipandang sebagai pelita harapan, yang membimbing kita dari kegelapan status quo pada cahaya masa depan. Pada sisi lain, revolusi dilihat sebagai momok yang mengerikan, bersimbah darah, dan penuh adegan kekerasan (Sztompka, 2004).

 

Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya; revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru. Pada saat revolusi, masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertin ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial. Karena muatan makna yang sarat ideologis, revolusi sering dirancukan dengan berbagai cara perubahan sosial lainnya. Revolusi memang perubahan yang cepat; tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut Sztompka, paling tidak ada lima ciri yang membedakan revolusi dari jenis-jenis perubahan sosial lainnya:

1) Revolusi menimbulkan perubahan pada skala yang paling luas; menyentuh semua tahap dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, kepribadian manusia. 

2) Pada semua bidang kehidupan ini, perubahannya bersifat radikal, fundamental, mencapai akar atau inti dari konstitusi dan fungsi masyarakat.

3) Perubahan berlangsung dengan sangat cepat, seperti sebuah ledakan dinamika yang terbersit dari arus lamban proses sejarah. 

4) Revolusi juga menunjukkan perubahan yang paling kentara; karena itu paling dikenang. 

5) Revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang sangat istimewa pada para peserta atau saksi revolusi: semangat yang membara, ledakan mobilisasi massa, optimisme, perasaan perkasa, kegembiraan dalam keikutsertaan pada ‘pesta’ revolusi; aspirasi yang melangit dan utopia masa depan.


Apa yang dimaksud perubahan sosial bisa dilakukan dengan revolusi atau people’s power? Revolusi atau people’s power merupakan bagian dari power strategy (strategi perubahan social dengan kekuasaan). Dan revolusi merupakan puncak dari semua bentuk perubahan sosial. Karena, ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial secara radikal, massal, cepat, mencolok, dan mengundang gejolak intelektual dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya. Strategi perubahan yang lainnya adalah persuasive strategy (strategi persuasif). Dalam strategi ini, media massa bisa sangat berperan. Karena, pada umumnya, strategi persuasif dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa. J.A.C. Brown memasukkan propaganda dalam strategi persuasif untuk melakukan perubahan sosial (Ritzer, 2003).

 

 

Bagaimana Kontinuitas dalam Sejarah? Mempelajari sejarah, rangkaian peristiwa yang ada merupakan peristiwa yang berkelanjutan. Kehidupan manusia saat ini merupakan mata rantai dari kehidupan masa lampau, sekarang dan masa mendatang. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri dan tidak terpisahkan dari peristiwa lain. Roeslan Abdulgani (1963) menyatakan ilmu sejarah dapat diibaratkan sebagai penglihatan terhadap tiga dimensi, yaitu penglihatan ke masa silam, masa sekarang, dan masa depan. Hal ini sejalan dengan Arnold J. Toynbee (2004) yang mengatakan bahwa mempelajari sejarah adalah mempelajari masa lampau, untuk membangun masa depan (to study history is to study the past to build the future).

 

Selain membahas manusia atau masyarakat, sejarah juga melihat hal lain yaitu waktu. Waktu menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah. Sehubungan dengan konsep waktu, dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2013) meliputi perkembangan, keberlanjutan/ kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Semua aspek itu memberikan pengaruh yang signifikan dalam sejarah, sehingga secara pasti dinamika perjalanan sejarah sebuah bangsa berlangsung dalam bingkai perkembangan, keberlanjutan/kesinambungan, pengulangan dan perubahan yang tidak pernah berhenti dalam satu titik atau pola.

 

Disebut mengalami perkembangan apabila dalam kehidupan masyarakat terjadi gerak secara berturut-turut dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Perkembangan terjadi biasanya dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Misalnya adalah perkembangan demokrasi di Amerika yang mengikuti perkembangan kota. Pada awalnya masyarakat di Amerika tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil itulah tumbuh dewan-dewan kota, tempat orang berkumpul. Dari kota-kota kecil mengalami proses menjadi kota-kota besar hingga menjadi kota metropolitan. Di sini, demokrasi berkembang mengikuti perkembangan kota. Kesinambungan terjadi bila suatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama. Misalnya pada masa kolonial, kebijakan pemerintah kolonial mengadopsi kebiasaan lama, antara lain dalam menarik upeti raja taklukan, Belanda meniru raja-raja pribumi.

 

Sementara itu disebut pengulangan apabila peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi pada masa berikutnya, misalnya menjelang presiden Soekarno jatuh dari kekuasaannya pada tahun 1960-an banyak terjadi aksi dan demonstrasi, khususnya yang dilakukan oleh para mahasiswa. Demikian halnya menjelang presiden Soeharto jatuh pada 1998, juga banyak terjadi aksi dan demonstrasi. Sedangkan dikatakan perubahan apabila dalam masyarakat terjadi perkembangan secara besar-besaran dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan terjadi karena adanya pengaruh dari luar. Misalnya gerakan nasionalisme di Indonesia sering dianggap sebagai kepanjangan dari gerakan romantik di Eropa.

 

Berhubungan dengan konsep keberlanjutan ini lah dikisahkan kehidupan manusia pada masa lalu. Masa lalu merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Namun, masa lalu bukanlah suatu masa yang terhenti dan tertutup. Masa lalu bersifat terbuka dan berkesinambungan sehingga dalam sejarah, masa lalu manusia bukan demi masa lalu itu sendiri. Segala hal yang terjadi di masa lalu dapat dijadikan acuan untuk bertindak di masa kini dan untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa datang (Kuntowijoyo, 2013).

 

No comments

Post a Comment

Buka Formulir Komentar

Info Kurikulum Merdeka dan PM

Info Kurikulum Merdeka dan PM
Info Kurikulum Merdeka dan Pembelajaran Mendalam

Search This Blog

Social Media

Facebook  Twitter  Instagram  Google News   Telegram  

Popular Posts

Free site counter
Free site counter