Pada materi Pengertian Sejarah dan Tujuan Mempelajari Sejarah ini kita akan membahasa Pengertian Sejarah, Sejarah sebagai ilmu pengetahuan. Ontologi Sejarah, Epistemologi Sejarah dan Tujuan Penulisan dan Guna Sejarah.
Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa sejarah dapat
dibagi menjadi dua pengertian yakni: Pertama, sejarah dalam arti subjektif yaitu
suatu konstruksi, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau
cerita yang mencakup rangkaian fakta-fakta untuk menggambarkan gejala sejarah, baik
proses maupun struktur. Kedua, sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian
atau peristiwa yaitu sejarah dalam aktualisasinya. Kejadian tersebut hanya terjadi
sekali dan tidak terulang kembali. (Kartodirdjo, 2017: 31).
Pengertian lain mengenai sejarah, berakar dari
bahasa Arab “Syajaratun” yang berarti Pohon. Istilah lain menyebutkan bahwa kata
history merupakan terjemahan dari perkataan Yunani yakni Istoria yang membawa makna
satu penyelidikan ataupun pengkajian. Menurut "Bapak Sejarah" Herodotus,
sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan kisah jatuh bangunnya seseorang tokoh,
masyarakat dan peradaban, sehingga pengertian sejarah merupakan satu sistem yang
menceritakan kejadian masa lalu dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang
sama, istilah sejarah merujuk kepada peristiwa- peristiwa masa lalu yang mempunyai
catatan, rekor-rekor atau bukti- bukti yang kukuh (Moh. Ali, 1995: 17).
Lebih lanjut pengertian tentang sejarah disampaikan
oleh Sir Charles Firth, ia berpendapat bahwa sejarah merekam kehidupan manusia,
perubahan yang terus menerus, merekam ide-ide, dan merekam kondisi-kondisi material
yang telah membantu atau merintangi perkembangnnya. Pandangan tentang sejarah juga
diungkapkan oleh John Tosh, menurutnya sejarah adalah memori kolektif, pengalaman
melalui pengembangan suatu rasa identitas sosial manusia dan prospek manusia tersebut
di masa yang akan datang (Sanusi, 2013 : 1). Pendapat lain tentang sejarah juga
disampaikan oleh J.V. Bryce, ia menyatakan bahwa sejarah adalah catatan yang telah
dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat manusia. Sejarawan W.H. Walsh berpandangan
bahwa sejarah menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting, yang meliputi
tindakan dan pengalaman di masa lalu. Ada juga Patrick Gardiner yang berpendapat
bahwa sejarah adalah ilmu yang telah diperbuat manusia. (Sanusi, 2013 : 2)
Ontologi Sejarah
Sejarah secara singkat dapat dikatakan menceritakan
problematika masyarakat, manusia, dan segala aktivitasnya. Kisah itu ditujukan mengenai
perubahan-perubahan yang terjadi karena kodrat masyarakat itu seperti masa kebiadaban,
masa saling membantu terus ke masa persatuan golongan, kisah revolusi, pemberontakan
yang timbul antara bangsa dengan bangsa dan kisah kerajaan-kerajaan dan negara-negara
yang timbul karena revolusi dan pemberontakan itu, serta menceritakan perkembangan
manusia dari awal hingga akhir, dan meliputi kompleks permasalahannya (Kuntowijoyo,
1995: 21).
Jadi usaha untuk menghadirkan masa lalu dalam
sejarah dilakukan secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut
dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa
yang berlaku. Sebagai usaha susulan dalam memahami masa lalu, sejarah dalam arti
kata lain digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-
bukti yang sahih bagi manusia untuk memperkayakan pengetahuan tentang masa lampunya
supaya waktu sekarang dan akan datang menjadi lebih cerah. Dengan itu akan timbul
sikap waspada (awareness) dalam diri semua kelompok masyarakat karena melalui pembelajaran
sejarah, ia dapat membentuk sikap tersebut terhadap permasalahan yang dihadapi agar
peristiwa-peristiwa yang berlaku pada masa lampau dapat dijadikan pengajaran yang
berguna. Pengertian Sejarah boleh dilihat dari tiga dimensi yaitu epistomologi (kata
akar), metodologi (kaedah sesuatu sejarah itu dipaparkan) dan filsafat atau pemikiran
peristiwa lalu yang dianalisa secara teliti untuk menentukan sama ada ia benar atau
tidak (Ankersmith, 1987).
Melihat pengertian di atas sejarah adalah ilmu
yang mempelajari segala sesuatu yang pernah terjadi pada masa lampau. Pertanyaanya
apakah semua masa lalu bisa dikaji oleh sejarah? Para sejarawan dan orang yang mempelajari
sejarah menggunakan masa lalu sebagai tema kajian utama. Mereka hidup di masa kini
dan berjarak dengan masa lalu. Hal ini membawa kita kepada hakikat (ontologi) sejarah
yang pertama bahwa masa lalu itu berjarak dengan masa kini, sehingga “komunikasi”
dengannya hanya dimungkinkan melalui benda-benda peninggalan yang tersisa dari masa
itu (Moh.Ali,1995:19)
Hakikat sejarah yang kedua adalah keterbatasan
memori manusia untuk mengingat semua hal di masa lalu. Maka, hanya yang diingatlah
yang akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Ini berarti sejak awal kajian
sejarah bagiamanapun lengkapnya data, tetap bersifat subyektif karena mengandalkan
intuisi sejarawan yang hendak menuliskan masa lalu tersebut. Hakikat Sejarah yang
ketiga adalah kehidupan sejarawan di masa kini padahal yang akan dituliskan adalah
kejadian di masa lalu. Maka tulisan sejarah ditulis berdasarkan kepentingan untuk
masa kini dan masa depan. Maka, tidak ada tulisan sejarah yang netral tapi tafsirannya
diserahkan kepada pembaca karya tersebut.
Epistemologi Sejarah
Masa lalu yang berjarak dengan masa kini membuat
cara mendapatkan kebenaran dengan mengumpulkan bukti-bukti yang tersisa dari masa
lalu tersebut. Umumnya bukti tersebut adalah sumber tertulis (arsip, koran, majalah,
terbitan pemerintah, buku, novel, dsb), sumber lisan (wawancara, memori kolektif,
tradisi lisan), dan sumber benda lain (foto, lagu, lukisan, bangunan). Melalui sumber
inilah sejarawan menghadirkan masa lalu kepada pembaca dalam bentuk karya sejarah
(historiografi).
Usaha menghadirkan masa lalu itu dengan tiga cara
yaitu pertama, konstruksi. Kontruksi diibaratkan usaha membangun kembali masa lalu
melalui peninggalan masa lalu. Harapannya sejarah yang ditulis akan sama persis
dengan poeristiwa di masa lalu. Usaha ini boleh dikatakan mustahil dilakukan karena
jarak yang membatasi antara masa kini dan masa lalu. Kedua, rekonstruksi. Usaha
ini dilakukan dengan membangun kembali peristiwa masa lalu berdasarkan cara pandang
(perspektif) masa kini. Hal inilah yang biasanya diajarkan dalam proses pendidikan
menjadi sejarawan. Ketiga, dekonstruksi. Usaha ini menghadirkan masa lalu yang berbeda
dengan cerita umum, dan membangun kesadaran kritis terhadap kajian sejarah.
Setelah mendapatkan bahan dan memilih metode untuk
menghadirkan masa lalu, usaha berikutnya adalah kritik terhadap sumber sejarah yang
dilakukan oleh sejarawan. Metode ini dikenal sebagai kritik sumber dan terdiri atas
kritik eksternal (untuk menentukan keaslian fisik sumber sejarah yang digunakan),
dan kritik internal (untuk menentukan keaslian isi dari sumber sejarah). Setelah
dilakukan interpretasi terhadap peristiwa sejarah yang dihadirkan dalam sumber.
Pada level ini keahlian seorang sejarawan diuji, untuk menentukan cerita seperti
apa yang akan dihasilkan. Tahap terakhir adalah penulisan sejarah yang menghasilkan
historiografi.
Apa Tujuan Penulisan dan Guna Sejarah dan Tujuan Mempelajari Sejarah? Sejarawan Louis Gottschalk dalam karyanya Mengerti Sejarah (Louis Gottschalk, 1975), menyebutkan setidaknya ada empat kegunaan sejarah dalam hidup manusia, yaitu: Sejarah sebagai pelajaran. Pengalaman adalah guru yang terbaik dan manusia banyak belajar dari pengalaman hidupnya baik pengalaman dirinya maupun dari pengalaman orang lain atau generasi sebelumnya. Pengalaman merupakan peristiwa masa lalu dan dari peristiwa itulah kita dapat mengambil hikmahnya (pelajaran), sebagai contoh kemajemukan masyarakat Indonesia pada masa lalu di manfaatkan oleh penjajah untuk melakukan devide et impera, dan berhasil, akibatnya bangsa Indonesia dijajah sampai ratusan tahun lamanya. Peristiwa masa lalu tersebut memberikan pelajaran kepada generasi sekarang, sehingga generasi sekarang harus mampu memandang kemajemukan bukan sebagai hal negatif, tetapi harus di sikapi secara positif. Contoh lain misalnya dapat kita ambil dalam peristiwa Revolusi Kemerdekaaan tahun 1945-1950. Masyarakat Indonesia bersatu padu untuk melawan ancaman penjajah, tanpa memandang agama, suku, dan ras, selain tujuan kemerdekaan bangsa sepenuhnya.
Sejarah sebagai Inspirasi
Berbagai peristiwa masa lalu dapat memberikan inspirasi (ilham) pada generasi berikutnya. Masa sekarang dan yang akan datang tidak akan terlepas dari masa lalu karena waktu merupakan sebuah garis linier, tidak ada suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, tidak ada peristiwa masa kini yang terputus dari peristiwa masa lampau. Dengan memahami masa lalu manusia dapat menarik benang merahnya dengan masa kini, contoh seseorang menjadi anggota TNI setelah terinspirasi oleh kepahlawanan Jendral Sudirman.
Sejarah sebagai Rekreasi
Setiap sejarah selalu bersamaan dengan unsur kebudayaannya, sehingga ketika membicarakan sejarah sering dikaitkan dengan benda peninggalan masa lampau seperti candi, keraton, patung dan benda budaya lainnya. Orang mengunjungi keraton, candi atau museum sebetulnya orang tersebut telah menjadikan sejarah dengan fungsi (kegunaan) rekreasi(hiburan). Banyak buku-buku sejarah yang ditulis, termasuk di dalamnya biografi ataupun auto biografi, semua itu merupakan sejarah sebagai kisah. ketika orang membaca kemudian menjadi senang dan tertarik karena tulisan dan gaya bahasanya yang komunikatif. sehingga pembaca dapat berimajinasi dengan isi bacaan buku-buku sejarah tersebut, maka sejarah mempunyai guna rekreatif (hiburan) seperti layaknya orang membaca sebuah buku novel (Kuntowijoyo, 1995).
Sejarah sebagai Ilmu
Sejarah dibawakan oleh sejarawan melalui proses heuristic (pencarian fakta), dilanjutkan dengan kritik sumber, proses interpretasi (penafsiran), diproses berdasarkan subjektifitas sejarawan dalam memahami sebuah peristiwa sejarah, dan ditulis menjadi sebuah catatan. Catatan itulah yang disebut sebagai sejarah itu sendiri. Jadi sejarah dan masa lampau merupakan suatu hal yang berbeda tetapi berkaitan. Sejarah sendiri adalah kumpulan fakta peristiwa yang telah dipastikan. Sebuah peristiwa akan menjadi sebuah sejarah tergantung pada pandangan sejarawan, sebagaimana diumpakan oleh E.H.Carr dalam buku Apa Itu Sejarah (2014). Fakta- fakta sejarah bagaikan sebuah ikan di penjual ikan, sejarawan akan mengumpulkannya, membawa nya pulang, serta memasak dan menyajikannya dengan gaya apapun yang menarik baginya. Jadi jika kita pikirkan secara mendalam maksud dari perumpaaan diatas adalah bahwa sebuah karya sejarah akan muncul sesuai dengan sudut pandang atau keinginan sejarawan tersebut dalam penulisannya. Jadi jelaslah bahwa fakta sejarah yang dapat menghasilkan penggambaran yang berbeda dari suatu peristiwa sejarah, hal tersebut didasarkan pandangan yang berbeda dari setiap Sejarawan berdasarkan subjektifitasnya.
Sejarah dikatakan sebagai ilmu, jika memiliki
syarat yaitu empiris, memiliki objek, memiliki teori, generalisasi dan memiliki
metode:
a) Sejarah Itu Empiris
Sejarah itu empiris mempunyai arti pengalaman,
menurut Kuntowijoyo (1995), “empiris berasal dari kata “Empiria” Yunani yaitu pengalaman”.
Mengapa sejarah itu empiris? Sejarah berasal dari pengalaman yang masih tercatat
oleh memori kita.
Pengalaman yang tadi telah diamati dituangkan
dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan itulah yang diteliti keabsahannya oleh sejarawan
untuk menentukan fakta. Fakta itu ditafsirkan secara berbeda-beda. Jika suatu ilmu
alam memiliki objek yang pasti. Sedangkan sejarah menjadikan bukti sebagai objeknya.
Letak perbedaan ilmu alam dan sejarah dilihat
dari bagaimana mereka mangamati objeknya bukan dari cara kerjanya. Jika dalam ilmu
alam mereka bisa mengulang-ulang percobaan tentang suatu hal, akan tetapi dalam
sejarah, hal itu tidak bisa dilakukan, karena sejarah itu hanya terjadi satu kali
karena bersifat pengalaman, seperti pada saat proklamasi. Kejadian ini tidak bisa
terjadi kembali dan diulang-ulang untuk diteliti. Hal ini yang menjadi sebab muncul
pebedaan pendapat dari para sejarawan dalam mendiskripsikan suatu peristiwa tersebut.
Karena kebenaran dalam sejarah hanya ada pada peristiwa itu semdiri (Kartodirdjo,2017:38).
b) Sejarah Memiliki Objek
Berbeda dari sosiologi, antropologi, dan ilmu
sosial lainnya. Sejarah mempelajari manusia dan perubahannya yang dipengaruhi oleh
waktu (diakronis). Jika lebih dikhususkan, objek penelitian sejarah adalah manusia.
Akan tetapi waktu sangat berperan penting dalam proses pembelajaran sejarah. Kebanyakan
sejarawan bingung bagaimana menentukan waktu terjadinya sejarah tersebut. Kebanyakan
sejarawan hanya mengira-ngira waktu terdekat saat peristiwan itu terjadi karena
informasi yang didapatkan sangat minim dan peristiwa tersebut tidak bisa terulang
kembali.
Apakah Sejarah Memiliki Teori? Seiring dengan munculnya banyak filsafat sejarah di muka bumi. Tentu saja, hal ini juga memicu munculnya teori-teori tentang sejarah. Teori yang terdapat dalam sejarah ini berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain, contohnya saja di Amerika yang beroriantasi pragmatis sedangkan di Belanda mempunyai tradisi kontinental yang lebih kontemplatif. Ini mengakibatkan di universitas-universitas Amerika yang berorientasi pragmatis, tidak diajarkan teori sejarah yang bersifat filosofis. Sebaliknya, di Belanda mempunyai tradisi kontinental yang lebih kontemplatif, sehingga teori sejarah yang bersifat filosofis diajarkan (Ankersmith,1987).
Sejarah Memiliki Generalisasi
Generalisasi berasal dari bahasa latin generalis
yang berarti umum. Ilmu sejarah juga menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Hanya saja
perlu diingat kalau ilmu-ilmu lain bersifat nomotetis, sejarah itu pada dasarnya
bersifat ideografis. Kalau sosiologi membicarakan masyarakat di pojok jalan atau
antropologi membicarakan pluralisme amerika, mereka dituntut untuk menarik kesimpulan-kesimpulan
umum yang berlaku dimana-mana dan dapat dianggap sebagai kebenaran umum. Maka, sejarah
mengajukan penjelasan yang unik dan berlaku dalam kurun waktu dan batasan tertentu
(Kartodirdjo,2017).
Sejarah Memiliki Metode
Perkembangannya ternnyata sejarah memiliki metode yang digunakan dalam penelitiannya, berupa teknik penelitian atau alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, sedangkan metodologi adalah falsafah tentang proses penelaian yang di dalamnya mencakup asumsi-asumsi, nilai-nilai, standar atau kriteria yang digunakan utuk menafsirkan data dan mencari kesimpulan. Jadi dengan adanya metode yang digunakan dalam sejarah inilah akan mempermudah sejarawan untuk mengumpulkan data dari suatu kejadian. (Kuntowijoyo,2005).
Apa saja Teori Gerak Sejarah? Teori Gerak Sejarah
Menurut Hukum Fatum. Pada dasarnya alam raya sama dengan alam kecil yaitu manusia.
Macro cosmos sama dengan micro cosmos. Cosmos menunjukkan bahwa alam teratur dan
di alam itu hukum alam berkuasa. Hukum yang berlaku dalam macro dan micro cosmos
yaitu alam raja dan alam manusia dikuasai oleh nasib (kadar) yaitu suatu kekuatan
gaib yang menguasai macrocosmos-microcosmos.
Perjalanan hidup alam semesta ditentukan oleh
nasib; perjalanan matahari, bulan, bintang, manusia dan sebagainya. Tak dapat menyimpang
dari jalan yang sudah ditentukan oleh nasib. Hukum alam yang menjadi dasar dari
segala hukum cosmos ialah hukum lingkaran atau hukum cyclus (siklus). Setiap kejadian,
setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi. Hukum cyclus di Indonesia di
sebut dengan cakra manggilingan yang berarti bahwa manusia tidak dapat melepaskan
diri dari cakram itu dan bahwa segala kejadian-peristiwa berlangsung dengan pasti.
Cakram adalah lambang nasib (kadar) yang berputar terus serba abadi tanpa putus.
Arti Cakra manggilingan
ialah bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari cakram itu, bahwa segala kejadian/peristiwa
berlangsung dengan pasti (Sutrasno, 1957). Cakram adalah lambang nasib (qadar) yang
berputarterus serba abadintanpa henti putusnya. Manusia terikat dengan cakram itu,
hidup bergerak naik turun seirama dengan gerak irama cakram di jagat raya, sesuai
dengan gerak cakram jagat kecil. Nasib (qadar) adalah kekuatan tunggal yang menentukan
gerak sejarah, manusia hanya menjalani dan menjalankan qadarnya.
Zaman lampau telah terjadi menurut kodrat alam,
terlaksana menurut qadar. Zaman yang akan datang akan terjadi seperti telah dikodratkan
manusia tidak akan dapat mengubah qadar itu. Qadar, nasib atau fatum bagi alam fikiran
Yunani merupakan kekuatan tunggal. Oleh karena itu kejadian/peristiwa sejarah dari
masa itu melukiskan kejadian/peristiwa yang tergantung pada qadar. Sifat cerita
sejarah ialah realistis, menurut kenyataan.
Treori Gerak Sejarah menurut Santo Agustinus.
Faham fatum Yunani kemudian menjelma dalam agama Nasrani sebagai faham ketuhanan
dengan sifat-sifat yang sama:
1) Kekuatan
tunggal fatum menjadi Tuhan
2) Serba
keharusan, menurut rencana alam, menurut ketentuan faham menjadi kehendak Tuhan
3) Sejarah
sebagai wujud qadar menjadi sejarah sebagai wujud kehendak Tuhan.
Kesimpulan dari penjelmaan hukum cakra manggilingan,
ialah bahwa manusia tidak bebas menentukan nasibnya sendiri. Ia menerima nasib dari
Tuhan, apa yang diterima sebagai kehendak Tuhan. Tuhan sudah menentukan perjalanan
hidup yang sudah ditentukan Tuhan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tuhan sudah
menentukan perjalanan hidup manusia dan alam, manusia tidak dapat mengubah garis
hidup yang sudah ditentukan. Bagi alam fikiran Yunani manusia menerima segala sesuatu
dengan amor fati (gembira), bagi alam kodrat ilahi pemberian Tuhan diterima dengan
fiat voluntas tua (kehendak Tuhan terlaksanalah).
Santo Agustinus menghimpun suatu teori sejarah
berdasarkan fiat voluntas tua itu. Gerak sejarah dunia diibaratkan riwayat hidup
manusia, babakan waktu disusun menurut tingkatan-tingkatan hidup manusia:
Tabel 1 Babakan Waktu Menurut Santo Agustinus
|
No |
|
Istilah |
|
Artinya |
Zaman |
|
1 |
intifia |
|
Bayi |
|
Adam sampai Nuh |
|
2 |
pueritia |
Kanak-kanak |
Sem, Jafet |
||
|
3 |
adulescentia |
Pemuda |
Ibrahim sampai Daud |
||
|
4 |
inventus |
Kejantanan |
Daud |
||
|
5 |
gravitas |
Dewasa, dewasa bijaksana |
Babilonia |
||
|
6 |
kiamat |
Tua |
|
Pemilihan antara baik- jahat |
|
Tujuan gerak sejarah ialah terwujudnya Kehendak
Tuhan, yaitu Civitas Dei atau Kerajaan Tuhan. Bila Civitas Dei itu akan menjadi
wujud belum diketahui, yaitu sebelum dan sesudah kiamat, tetapi nyatalah bahwa Tuhan
akan mengadakan pemilihan, barang siapa taat dan menerima kehendak Tuhan di terima
di sorga, barang siapa menentang kehendak Tuhan akan menjadi penduduk neraka atau
jahanam.
Masa sejarah adalah masa percobaan, masa ujian
bagi manusia. Kehendak tuhan harus diterima dengan rela dan ikhlas, manusia tidak
dapat melepaskan diri dari dari kodrat ilahi. Keharusan kodrat ilahi menurut faham
ini ditambah dengan ancaman di akhirat, masuk civitas diaboli (kerajaan iblis) atau
neraka.
Zaman lampau sebagai perwujudan kehendak Tuhan
adalah cermin atau hikmah untuk mengetahui kodrat ilahi. Zaman yang akan datang
adalah masa medan perjuangan untuk mendapat tempat di Civitas Dei. Maka peri kehidupan
manusia ditujukan kepada Civitas Dei, kepada akhirat, kecemasan dan ketakutan meliputi
seluruh alam fikiran itu. Apakah nasib yang akan diterima kelak? Fiat Voluntas tua,
kehendak Tuhan terlaksanalah! Manusia menyerah kepada kehendak Tuhan, ia menerima
segala sesuatu, menyerahkan nasib kepada gereja.
Demikianlah pandangan sejarah Eropa di masa abad
pertengahan (midlle ages), manusia hanya menanti-nantikan kedatangan Civitas Dei.
Gerak sejarah bermata air kodrat ilahi dan bermuara pada Civitas Dei.
Bagaiman Teori Gerak Sejarah menurut Ibn Khaldun? Ibnu Kholdun (1332-1406) adalah
seorang sarjana Arab yang ternama, ialah yang dapat dipandang sebagai ahli sejarah
yang paling pertama. Teorinya didasarkan pada kehendak Tuhan sebagai pangkal gerak
sejarah seperti Santo Agustinus, akan tetapi Ibnu Kholdun tidak memusatkan perhatiannya
kepada akhirat. Baginya sejarah adalah ilmu berdasarkan kenyataan, tujuan sejarah
ialah agar manusia sadar akan perubahan-perubahan masyarakat sebagai usaha penyempurnaan
peri kehidupannya. Pendapat Ibnu Kholdun tertuang dalam bukunya An Arab Philosophy
of history translated and arranged by Charles Issawi MA, halaman 26-30:
Sejarah ialah kisah masyarakat manusia atau kisah kebudayaan dunia, yaitu kisah perubahan-perubahan yang terjadi karena kodrat masyarakat itu seperti masa kebiadaban, masa saling membantu terus ke masa persatuan golongan, kisah revolusi, pemberontakan yang timbul antara bangsa dengan bangsa dan kisah kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang timbul karena revolusi dan pemberontakan itu, kisah kegiatan dan pekerjaan manusia, yaitu pekerjaan untuk mendapatkan nafkah, atau kegiatan dalam macam-macam ilmu dan usaha, dan umumnya kisah dari perubahan yang terjadi karena kodrat manusia. Keadaan dunia dan keadaan negara-negara dan adat lembaganya serta cara-cara penghidupannya (produksi) tidak tinggal tetap dan bersifat kekal (tak berubah) akan tetapi terus berubah sepanjang masa dan berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Demikian halnya manusia, waktu, kota-kota mengalami perubahan, maka iklim, masa, daerah dan negara juga akan mengalami perubahan itulah hukum yang telah ditentukan oleh Allah untuk para mukmin (Ali, 2005).
Ibnu Kholdun dengan tegas menunjukkan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam masyarakat karena qadar Tuhan, yang terdapat dalam masyarakat
adalah “naluri” untuk berubah. Justru perubahan-perubahan itu berupa revolusi, pemberontakan,
pergantian lembaga, dsb, maka masyarakat dan negara akan mengalami kemajuan. Manusia
dan semua lembaga-lembaga yang diciptakannya dapat maju karena perubahan. Ibnu Kholdun
dengan tegas menyatakan perubahan sebagai dasar kemajuan dan itulah yang kemudian
disebut teori evolusi (teori kemajuan) yang dicetuskan oleh Charles Darwin.
Perbedaan antara teori Santo Agustinus dan Ibnu Kholdun tampak dari akhir tujuan terakhir. Agustinus mengakhiri sejarah dengan dwitunggal sorga-neraka, bagi Ibnu Kholdun sejarah menuju ke arah timbulnya beraneka warna masyarakat, negara dengan manusianya menuju ke arah kesempurnaan hidup. Teori Agustinus menciptakan manusia menyerah, teori Ibnu Kholdun mendidik manusia menjadi pejuang yang tak kenal mundur. Puncak gerak sejarah ialah umat manusia bahagia dengan beraneka ragam masyarakat, negara, kesatuan hidup lainnya yang sempurna.
Teori Renaissance
dan Pandangan Evolusi dalam Gerak Sejarah. Pada masa renaissance pengaruh gereja
mulai berkurang. Perhatian manusia berubah dari dunia-akhirat ke dunia-fana, kepercayaan
pada diri pribadi sendiri bertambah dalam diri manusia. Sifat menyerah pada nasib
berkurang dan harga diri memperkuat semangat otonom manusia. Semangat otonom itulah
yang mendorong manusia ke arah pengertian tentang kehendak Tuhan.
Kemajuan ilmu pengetahuan seirama dengan kemajuan
filsafat dan teknik mengakibatkan timbulnya alam fikiran baru di Eropa. Manusia
lambat laun melepaskan diri ari agama serta berani mengembangkan semangat otonom.
Sumber gerak sejarah tidak di cari di luar pribadinya, tetapi dicari dari dalam
diri sendiri. Hubungan dengan cosmos diputus, ikatan dengan Tuhan ditiadakan, manusia
berdiri sendiri (otonom).
Gerak sejarah berpangkal pada kemajuan (evolusi),
yaitu keharusan yang memaksa segala sesuatu untuk maju. Manusia melenyapkan sorga-neraka
sebagai tujuan, tujuan fatum yang serba tidak tentu diberi batasan yang jelas. Gerak
sejarah menuju ke arah kemajuan yang tidak ada batasnya. Evolusi tak terbatas adalah
tujuan manusia. Abad ke- 18 dan 19 merupakan masa revolusi jiwa yang luar biasa,
yaitu suatu revolusi yang mematahkan kekuatan heteronomi. Hukum siklus yang mengekang
daya pencipta lenyap kekuatannya. Lingkaran cakra manggilingan diterobos dan gerak
sejarah tidak berputar- putar lagi, tetapi maju menurut garis lurus yang tidak ada
akhirnya.
Sejarah adalah medan perjuangan manusia dan cerita
sejarah adalah epos perjuangan ke arah kemajuan. Dengan ilmu pengetahuan, taknik,
filsafat alam sekitarnya diselidiki dengan semangat evolusi. Mitos evolusi menjadi
sumber dinamika yangdahsyat dan mengeluarkan manusia dari alam rohaniah. Evolusi
berarti evolusi jasmaniah, evolusi kebendaan, evolusi duniawi, kefanaan, misalnya
kemajuan teknik: kapal api, kereta api, pabirk, dsb. Gerak sejarah tidak menuju
ke akhirat, tetapi ke arah kemajuan duniawi, maka dalam dunia yang seolah-olah tidak
memerlukan Tuhan lagi itu, timbullah faham-faham baru yang berpedoman pada evolusi
tak terbatas, diantaranya faham historical materialism atau economic determinism.
Faham historical materialism menerangkan bahwa
pangkal gerak sejarah ialah ekonomi, gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan
barang kebutuhan masyarakat (produksi). Cara produksi menentukan perubahan dalam
masyarakat, perubahan itu ditimbulkan oleh pertentangan kelas. Gerak sejarah terlaksana
dengan pasti menuju ke arah masyarakat yang tidak mengenal pertetangan kelas. Tujuan
sejarah ialah menciptakan kebahagiaan untuk setiap manusia, kelas manusia istimewa
akan lenyap pada saat amsayarat tanpa kelas dapat diwujudkan.
Manusia pada dasarnya tidak bebas, tidak otonom
dalam arti luas. Semua perubahan terjadi tanpa persetujuan manusia, manusia hanya
dapat mempercepat jalan gerak sejarah dan tidak dapat mengubah atau menahan gerak
sejarah. Kebebasan manusia sangat terbatas oleh keharusan ekonomi. Gerak sejarah
tidak memerlukan Tuhan, tidak memerlukan fatum, tidak memerlukan manusia agar dapat
terlaksana. Sejarah berlangsung dengan sendirinya, yaitu karena pertentangan kelas.
Gerak sejarah bersifat mekanis, seperti jam tangan yang setelah diputar berjalan
dengan sendirinya, manusia menjadi alat dari dinamika ekonomi.
Demikianlah secara singkat faham historical materialism
(Croce, 2008: 6-13) yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Frederick Engels
(1820-1895). Jelaslah bahwa otonomi yang dibanggakan manusia abad 19 sebetulnya
hanya pembebasan dari Tuhan dan penambatan dari hukum ekonomi. Dunia yang tersedia
ini tidak untuk difikirkan, tetapi harus diubah menurut kehendak manusia menurut
hukum alam. Sejarah menjadi perjuangan manusia untuk menciptakan dunia baru guna
kebahagian manusia. Pada abad ke-20 historical materialism diperjuangkan oleh
Partai Komunis.
Bagimana
Sifat Gerak Sejarah? Dari
teori-teori yang memberikan arah dan tujuan gerak sejarah dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a) Tanpa
arah tujuan, seperti terdapat dalam alam fikiran Yunani berdasarkan hukum fatum,
teori ini kemudian diperluas dan diperdalam oleh Oswald Spengler. Gerak sejarah
berputar-putar, berputar-putar dan tidak terdapat sesuatu yang baru. Setiap kejadian,
peristiwa, fakta pasti akan terjadi lagi seperti yang sudah-sudah.
b) Pelaksanaan
kehendak Tuhan, gerak sejarah ditentukan oleh kehendak Tuhan dan menuju ke arah
kesempurnaan manusia menuju kehendak Tuhan. Manusia hanya menerima ketentuan itu
dan tidak dapat mengubah nasibnya. Akhir gerak sejarah adalah Kerajaan Tuhan (Civitas
Dei) bagi yang dapat diterima Tuhan dan kerajaan setan (Civitas Diaboli) bagi
yang ditolak oleh Tuhan.
c) Ada
juga yang berpendapat bahwa ikhtiar, usaha dan perjuangan manusia dapat menghasilkan
perubahan nasib yang sudah ditentukan Tuhan, maka gerak sejarah merupakan perimbangan
antara kehendak Tuhan dengan usaha manusia. Aliran ini merupakan perpaduan otonomi
dan heteronomi.
d) Evolusi
dengan kemajuan yang tidak terbatas, gerak sejarah membawa manusia setingkat demi
setingkat terus ke arah kemajuan. Dengan senang hati manusia melaksanakan gerak
sejarah dengan penuh harapan akan mengalami kemajuan yang tidak terhingga. Alam
semesta harus dan dapat dikuasai oleh manusia. Semakin meningkat, semakin luas dan
dalam pengetahuan manusia dan makin berkuasalah ia.Aliran inilah yang sangat berpengaruh
terhadap gerak sejarah di dunia Barat, sehingga bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika
menglami kemajuan yang pesat.
e) Disamping
faham evolusi terdapat pula faham historical materialism yang menentukan masyarakat
tanpa kelas adalah tujuan sejarah. Masyarakat tak berkelas itu adalah tujuan gerak
sejarah setelah melalui masa kapitalis.
Reaksi terhadap faham
evolusi menghasilkan beberapa aliran baru, yaitu:
·
Aliran
menuju ketuhanan seperti faham Toynbee, bahwa gerak sejarah itu akan sampai pada
masa bahagia apabila manusia menerima Tuhan serta kehendak Tuhan sebagai dasar
perjuangannya.
·
Aliran
irama gerak sejarah menurut Sorokin yang menyatakan bahwa gerak sejarah tidak bertujuan
apa-apa dan bahwa gerak itu hanya menunjukkan datang-lenyapnya atau berganti-gantinya
corak; ideational, sensate dan idealistic
·
Aliran
kemanusiaan, yaitu suatu aliran yang sangat luas dan berpusatkan pendapat
mutlak bahwa manusialah yang terpenting di dunia ini. Gerak sejarah adalah perjuangan
manusia untuk mencapai kemajuan yang setinggi mungkin.
Bagaiman Konsep
Ruang dalam Sejarah ? Sejarah mengenal adanya dimesi spasial dan dimensi temporal.
Spasial atau ruang merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa sejarah. Sedangkan
temporal atau waktu ini berhubungan dengan kapan peristiwa tersebut terjadi. Sedangkan
manusia adalah subjek dan objek sejarah. Manusia sebagai pelaku dan penulis sejarah
itu sendiri. Ruang adalah konsep yang paling melekat dengan waktu. Ruang merupakan
tempat terjadinya berbagai peristiwa – peristiwa sejarah dalam perjalanan waktu.
Penelaahan suatu peristiwa berdasarkan dimensi waktunya tidak dapat terlepaskan
dari ruang waktu terjadinya peristiwa tersebut. Jika waktu menitik beratkan pada
aspek kapan peristiwa itu terjadi, maka konsep ruang menitikberatkan pada aspek
tempat, dimana peristiwa itu terjadi.
Masa lampau itu sendiri merupakan sebuah masa
yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau bukan merupakan suatu masa yang final,
terhenti, dan tertutup. Masa lampau itu bersifat terbuka dan berkesinambungan. Sehingga,
dalam sejarah, masa lampau manusia bukan demi masa lampau itu sendiri dan dilupakan
begitu saja, sebab sejarah itu berkesinambungan apa yang terjadi dimasa lampau dapat
dijadikan gambaran bagi kita untuk bertindak dimasa sekarang dan untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sejarah dapat digunakan sebagai modal
bertindak di masa kini dan menjadi acuan untuk perencanaan masa yang akan datang.
Konsep ruang dan waktu merupakan unsur penting
yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu peristiwa dan perubahannya dalam kehidupan
manusia sebagai subyek atau pelaku sejarah. Segala aktivitas manusia pasti berlangsung
bersamaan dengan tempat dan waktu kejadian. Manusia selama hidupnya tidak bisa dilepaskan
dari unsur tempat dan waktu karena perjalanan manusia sama dengan perjalanan waktu
itu sendiri pada suatu tempat dimana manusia hidup.
Konsep ruang, maksudnya tempat terjadinya peristiwa,
jadi terkait dengan aspek geografisnya. Unsur ruang ini akan menjadikan pemahaman
kita tentang peristiwa sejarah menjadi riil. (Subagyo, 2011: 14). Contohnya sejarah
reformasi Indonesia tahun 1998. Banyak sejarawan mencantumkan Jakarta sebagai tempat
terjadinya peristiwa tersebut. Demikian, keberadaan Jakarta dalam peristiwa sejarah
reformasi Indonesia sangatlah penting.
Tidak ada peristiwa yang berlangsung tanpa medium
ruang. Segala peristiwa terjadi di dunia berlangsung dalam ruang atau wilayah tertentu.
Segala tindakan dan perilaku manusia terjadi di tempat atau lokasi tertentu. Adanya
ruang membuat pemahaman kita tentang pristiwa sejarah menjadi nyata. Selain itu,
memungkinkan orang membuat kategorisasi peristiwa sejarah berdasarkan tempat, seperti
sejarah lokal, sejarah daerah, sejarah nasional, sejarah wilayah, dan sejarah dunia
(Ratna Hapsari & M Adil, 2017: 11).
Di dalam KBBI disebutkan pengertian ruang adalah
sela-sela antara dua deret tiang atau sela-sela empat deret tiang, atau yang juga
diartikan sebagai rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang, atau juga rongga
yang tidak berbatas, tempat segala yang ada. Dalam sejarah, ruang atau tempat merupakan
unsur penting yang harus ada. Bila diibaratkan sebuah pertunjukkan, maka ruang merupakan
panggung ketika peristiwa sejarah berlangsung. Ruang atau tempat terjadinya peristiwa
sejarah terkait dengan unsur geografis. Akan tetapi, ruang atau tempat tersebut
bukanlah ruang yang steril. Dengan demikian, suatu peristiwa sejarah merupakan proses
interaksi dengan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi pada suatu ruang atau
tempat tertentu (Hermawan & Ufi Saraswati, 2014: 7-8).
Saat terjadi perlawanan terhadap Belanda misalnya,
maka harus ditegaskan kapan dan di mana penjajahan tersebut berlangsung. Perang
Diponegoro dan Perang Padri terjadi pada waktu yang beriringan, akan tetapi keduanya
terjadi pada ruang dan tempat yang berbeda. Oleh sebab itu kedua peristiwa ini memiliki
latar belakang sejarah dan budaya yang berbeda serta memiliki keunikan sendiri.
Konsep ruang dalam sejarah berkaitan dengan lokasi
atau tempat terjadinya suatu peristiwa sejarah. Konsep ruang dalam sejarah menyebabkan
adanya pembagian sejarah. Jika mempelajari sejarah menggunakan konsep ruang, kita
akan dapat menganalisis dan membandingkan pola kehidupan di suatu daerah, termasuk
pola pikir dan pola perilaku masyarakat setempat (Rachmawati, 2016: 2).
Peristiwa ataupun kejadian dari masa yang lalu
selalu berlangsung dalam batasan ruang atau tempat tertentu. Unsur ruang yang menjadi
tempat terjadinya peristiwa akan memberikan gambaran jelas kepada kita bahwa peristiwa
itu memang ada dan nyata (Ratna Hapsari & M Adil, 2016: 8).
Lalu apa dan bagimana Konsep Waktu dalam Sejarah? Konsep waktu dalam sejarah mempunyai arti
kelangsungan (continuity) dan satuan atau jangka berlangsungnya perjalanan waktu
(duration). Kelangsungan waktu atas kesadaran manusia terhadap waktu dibagi menjadi
tiga dimensi, yaitu: (1) Waktu yang lalu atau the past, menyusul, (2) Waktu sekarang
atau the present, dan berlanjut, (3) Waktu yang akan datang atau the future.
Waktu (dimensi temporal) memiliki dua makna, yaitu
makna denotati dan konotatif. Makna waktu secara denotatif merupakan satu-kesatuan,
Yaitu detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad, dan seterusnya. Pada
umumnya, berikut konsep waktu dalam memelajari sejarah. Masa lampau itu sendiri
merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau bukan merupakan
suatu masa yang final, terhenti, dan tertutup. Masa lampau itu bersifat terbuka
dan berkesinambungan. Sehingga, dalam sejarah, masa lampau manusia bukan demi masa
lampau itu sendiri dan dilupakan begitu saja, sebab sejarah itu berkesinambungan
apa yang terjadi dimasa lampau dapat dijadikan gambaran bagi kita untuk bertindak
dimasa sekarang dan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Sejarah dapat digunakan sebagai modal bertindak di masa kini dan menjadi acuan untuk
perencanaan masa yang akan dating.
Konsep waktu dalam sejarah, menurut Kuntowijoyo
mencakup empat hal, yaitu perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan.
Dalam hal perkembangan, sejarah akan melihat dan mecatat peristiwa yang menunjukan
terjadinya perubahan dalam masyarakat dari satu bentuk ke bentuk yang lain, biasanya
dari yang sederhana ke bentuk yang lebih rumit. Dalam sejarah, juga terjadi kontinuitas
atau kesinambungan yang melahirkan kondisi baru, namun tetap diwariskan atau diteruskan
karena dianggap baik oleh suatu masyarakat. Dalam sejarah, pengulangan terjadi sebelumnya
terulang kembali pada masa sesudahnya atau masa sekarang. Sehingga menghasilkan
perubahan yang terjadi karena praktik lama dinilai tidak memadai lagi untuk menunjang
kemajuan dan tata kehidupan (Ratna Hapsari & M Adil, 2017:13).
Waktu adalah seluruh rangkaian ketika proses,
perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung (KBBI Online). Dalam sejarah, unsur
waktu merupakan unsur sangat penting. Sebab mempelajari sejarah bukanlah mempelajari
sesuatu yang berhenti melainkan mempelajari sesuatu yang terus bergerak seiring
dengan perjalanan waktu. Setiap peristiwa sejarah berada pada kurun waktu tertentu
yang memiliki latar belakang kurun waktu sebelumnya. Unsur waktu juga memberikan
konteks atau setting tertentu bagi berlangsungnya peristiwa sejarah. Oleh sebab
itu, dalam mempelajari sejarah, harus ditentukan dengan tegas dan jelas siapa pelakunya,
kapan terjadinya, dan dimana peristiwa itu berlangsung (Hermawan & Ufi Saraswati,
2014:8-9).
Konsep waktu terbagi menjadi tiga, yaitu masa
lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dalam sejarah, konsep waktu yang paling dominan
adalah masa lalu. Akan tetapi, konsep waktu pada masa lalu ini juga memengaruhi
peristiwa pada masa sekarang.
Sebagai contoh, pada masa lalu Republik Indonesia
memilih bentuk Negara Kesatuan dengan pertimbangan kemajemukan sosial dan adanya
ribuan pulau. Keputusan pemerintah tetap bertahan sampai sekarang. Oleh sebab itu,
keputusan pemerintah pada masa lalu berpengaruh terhadap perkembangan negara pada
masa sekarang dan masa depan (Rachmawati, 2016: 2).
Konsep waktu dalam sejarah meliputi dua hal,
yakni (1) proses kelangsungan dari suatu peristiwa dalam batasan waktu tertentu,
(2) kesatuan kelangsungan waktu, yaitu waktu pada masa yang lampau, sekarang, dan
masa yang akan datang. Sebagai contoh, pemerintahan Orde Baru yang mengalami kemunduran
dengan peristiwa mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya pada tanggal 21 Mei
1998. Atau contoh lain, pembacaan naskah proklamasi oleh Bung Karno pada pukul 10.00
WIB tanggal 17 Agustus 1945 (Ratna Hapsari & M Adil, 2017:8).
Perspektif waktu merupakan dimensi yang sangat
penting dalam sejarah. Sekalipun sejarah itu erat kaitannya dengan waktu lampau,
tetapi waktu lampau itu terus berkesinambungan. Sehingga perspektif waktu dalam
sejarah, ada waktu lampau, kini dan yang akan datang. Waktu akan memberikan makna
dalam kehidupan dunia yang sedang dijalani sehingga selama hidup manusia tidak dapat
lepas dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu
sendiri. Konsep waktu dalam sejarah mempunyai arti kelangsungan dan satuan atau
jangka berlangsungnya perjalanan waktu (Herimanto & Eko Targiyatmi, 2017:5-6).
Apa dan bagaimana Perubahan dalam Sejarah? Sejarah
sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah
sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting, agar kekhawatiran
tentang subyektifitas sejarah dalam pembelajaran sejarah tidak mengorbankan ilmu
sejarah. Sebagaimana pandangan Abdullah (1996) bahwa sejarah sebagai alat pemupuk
ideologi, betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisa meniadakan validitas dari
apa yang akan disampaikan. Pemisahan kurikulum antara sejarah “kognitif” (pengetahuan)
dengan yang “afektif” (perasaan) yang pernah dilakukan, bukan saja artifisial, tetapi
juga memperlihatkan kemandulan dalam pemikiran kesejarahan. Seakan-akan, sejarah
yang diketahui tidak bertolak dari keingintahuan yang obyektif, demi didapatkan
kearifan yang afektif.
Mengutip pernyataan dari Elton, sering muncul
kecurigaan di kalangan sejarawan bahkan para pendidik, terhadap alasan mengkaitkan
sejarah dengan proses pendidikan. Proses pendidikan sejarah dianggap hanya menjadi
sumber kecenderungan etnosentris bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu,
Namier berpendapat bahwa peran sejarah sebagai “moral precepts” atau ajaran moral
dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi sebagai legitimasi doktrin atau ideologi
tertentu (Elton dalam Widja, 1997).
Selain itu, Mahasin berpandangan bahwa kritik
umum kepada pendukung nilai edukatif sejarah dalam penanaman nilai-nilai sejarah
melalui proses pendidikan yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan mendidik
itu sendiri yang bersifat ekstrinsik atau instrumental. Padahal dalam teori belajar
yang lebih utama adalah nilai instrinsik. Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental
dalam pendidikan sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai sejarah sebagai
landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang sudah ditentukan
sebelumnya (predefined person) baik dalam rangka “cultural transmission” maupun
dalam penyiapan “moral precepts” bagi generasi baru. Dalam kerangka berpikir seperti
ini, muncul kecenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau
yang pada gilirannya memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah demi kepentingan
masa kini atau kecenderungan presentisme. Pengaburan seperti ini bisa mendorong
generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir secara
kreatif merencanakan bangunan masa depannya (Mahasin dalam Widja, 1997).
Menurut Abdullah (1996) jika disimpulkan, sejarah
sebagai wacana intelektual akan tampil secara bertahap dengan berbagai wajah. Pertama,
sebagai sejarah yang bernada moralistik, yang merupakan pertanggungjawaban rasional
akan keharusan hidup bermasyarakat. Kedua, sejarah sebagai alat pengetahuan praktis,
yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui struktur hari dan dunia kini dan
ketiga, sejarah sebagai pembimbing kearah pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong
untuk memungkinkan terjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakan jaman yang melintas
dalam pengalaman hidupnya atau alat untuk memahami dunia intellegency.
Pengajaran sejarah penting dalam pembentukan jiwa
patriotisme dan rasa kebangsaan. Suatu pengetahuan sejarah yang ditunjang pengalaman
praktis warga negara yang baik di sekolah membantu memperkuat loyalitas dan membantu
anak-anak menemukan dirinya dengan latar belakang sejarah luas (Jarolimek, 1971).
Rowse (1963) menegaskan bahwa sejarah adalah suatu mata pelajaran yang bernilai
pendidikan tinggi. Sementara itu Collingwod (1973) mengatakan bahwa nilai sejarah
adalah mengajarkan kepada kita tentang manusia dan apa yang telah dilakukannya.
Dalam konteks pembentukan identitas nasional, pengetahuan sejarah mempunyai fungsi
fundamental (Kartodirdjo, 1993).
Pada perkembangannya, pendidikan sejarah sangat
bergantung pada ilmu sejarah. Siswa sebagai objek didik tentu membutuhkan pengetahuan
dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks tentang, apa itu sejarah? sebelum
mereka mempelajari rentetan peristiwa dalam sejarah. Dalam konteks itu, ilmu sejarah
sendiri secara alamiah memfokuskan diri pada kajian tentan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lampau dengan tujuan mengambil hikmah. Masa lampau memiliki pengertian
yang sangat luas, bisa berarti satu abad yang lalu, puluhan tahun yang lalu, sebulan
yang lalu, sehari yang lalu atau sedetik yang lalu, bahkan waktu sekarang ketika
sedang membaca tulisan ini akan menjadi masa lampau. Kita harus menyadari bahwa
rangkaian peristiwa sejarah sejak adanya manusia sampai sekarang adalah peristiwa
yang berkelanjutan atau berkesinambungan (continuity) dari satu titik ke titik
selnjutnya.
Selain membahas manusia dan masyarakat, sejarah
juga melihat hal lain, yaitu waktu. Waktu menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah.
Sehubungan dengan konsep waktu, dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2001) meliputi
perkembangan, keberlanjutan/ kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Disebut mengalami
perkembangan apabila dalam kehidupan masyarakat terjadi gerak secara berturut-turut
dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Perkembangan terjadi biasanya dari bentuk
yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Misalnya adalah perkembangan demokrasi di
Amerika yang mengikuti perkembangan kota. Pada awalnya masyarakat di Amerika
tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil itulah tumbuh dewan-dewan kota, tempat
orang berkumpul. Dari kota kecil itu mengalami proses menjadi kota-kota besar sehingga
menjadi kota metropolitan. Di sini, demokrasi berkembang mengikuti perkembangan
kota (Kuntowijoyo, 2001).
Misalnya lagi, tulisan sejarah yang mengupas tentang
perubahan dan keberlanjutan adalah milik Sartono Kartodirdjo (1984), Peasant Revolt
of Banten 1888. Tulisan-tulisan Sartono sangat mudah dibedakan karena memiliki
karakteristik yang khas dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang lain. Pertama,
tulisan-tulisan Sartono selalu mengusung tema-tema sosial, sejarah sosial, dan masyarakat.
Berbeda dengan tulisan kebanyakan waktu itu yang mengusung tema politik dan sejarah
orang besar. Pada waktu itu sejarwan UI, Nugroho Notosusanto merupakan sejarawan
yang dekat dengan pemerintah merupakan pelopor sejarah politik dan militer. Kedua,
pendekatan yang digunakan Sartono dalam setiap penulisannya yang disebutnya sebagai
multidimensional approach, pendekatan ilmu-ilmu sosial yang mempunyai eksplanasio
lebih kuat. pemikiran Sartono ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Annales di Perancis.
Namun demikian AB. Lapian (1996), menuturkan bahwa Sartono tidak secara sengaja
membuat mazhab “Sartono”. Sartono menekankan kerja metodologis dan pendekatan yang
integratif, sehingga bisa keluar dari penulisan sejarah konvesional yang menitik
beratkan pada politik dan narasi deskriptif. Pendekatan multidimensional dan ilmu-ilmu
sosial yang dipeloporinya merupakan bagian dari cara kerjanya untuk keluar dari
kerangka sejarah kolonial (Kartodirdjo, 1967).
Ide dan gagasan ini secara tidak langsung memengaruhi
pemikiran dan gaya penulisan sejarah murid-muridnya. Seperti diketahui bahwa setelah
menamatkan kuliahnya di UI, dia memilih UGM sebagai media menyebarkan ide dan gagasannya.
Sejak tahun 1956 Sartono mengajar di jurusan sejarah UGM. Di kampus inilah Sartono
menyemaikan bibit pemikiran dan gagasannya. Sudah banyak akademisi dan sejarawan
besar yang lahir berkat tangan dinginnya. Sebut saja Prof. T. Ibrahim Alfian, ,
Prof. Soehartono, Prof. Djoko Soeryo, dan Prof. Taufik Abdullah. Dari beberapa
mahasiswanya tersebut kemudian menyebar ke berbagai kampus di luar UGM, misalnya
Muhammad Gde Ismail di Universitas Syiah Kuala Aceh, Mestika Zeid di Padang, AA
Gde Putra Agung di Udayana Bali, dan Soedharmono di UNS, Djuliati Soeroyo di Undip.
Disadari atau tidak masing-masing dari mereka mengembangkan corak pemikiran Sartono.
Untuk meyakinkan pengaruh pemikiran Sartono pada
muridnya mungkin bisa kita analisis dari disertasi yang dipromotori Sartono. Disertasi
Ibrahim Alfian yang mengangkat Perang Aceh, perlawanan rakyat Aceh yang berlangsung
terus menerus menghadapi Belanda. Dalam disertasinya Alfian membagi perlawanan rakyat
Aceh dalam empat fase. Pertama, fase 1873-1875 disaat perang dipimpin langsung oleh
para Sultan. Kedua, fase yang berlangsung antara tahun 1876-1896 disaat kepemimpinan
beralih pada ulubalang dan Sultan hanya sebagai simbol pemersatu. Ketiga, fase 1896-
1903 ketika ulama juga turut mengambil peran dalam perang Aceh, fase ini berakhir
dengan ditandai menyerahnya Tuanku Muhammad Daud Syah. Fase keempat merupakan fase
dimana terjadi pertempuran besar dibeberapa tempat, mulai dari Aceh Besar, Pidie,
Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Melalui fase-fase ini Ibrahim Alfian menggunakan pendekatan
analisis struktural sehingga perang Aceh dilihat sebagai proses yang berlapis-
lapis bukan sekedar peristiwa tungal. Selain itu juga tidak terlewatkan aspek social
masyarakat, termasuk juga ideologi yang melatar belakangi munculnya perang dan
perlawanan (Alfian, 1989).
Satu lagi disertasi yang menjadi bimbingan Sartono,
adalah karya Soehartono yang membahas perubahan sosial yang terjadi di Surakarta
melalui sistem apanage dan bekel. Soehartono (1991) mengungkapkan bahwa dengan adanya
sistem apanage yang diterapkan mengakibatkan perang desa. Sistem apanage yang tidak
bisa dilepaskan dengan struktur sosial, pola penguasaan tanah yang bertumpu pada
hubungan patron- client, dan konsep priyayi-wong cilik. Soehartono menguraikan secara
penuh dalam babnya mengenai perubahan sosial yang berlangsung akibat sistem apanage.
Keresahan di kalangan pedesaan sebagai pemicu konflik. Tulisan Soehartono jelas
dikategorikan sebagai sejarah sosial dengan latar belakang permasalahan agraria.
Topik sejarah sosial dan pedesaan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Sartono.
Cicero, seorang filsuf Romawi mengungkapkan bahwa
barang siapa yang tidak mengenal sejarahnya akan tetap menjadi anak kecil. Kemudian
Sartono Kartodirdjo menambahkan barang siapa yang lupa sama sekali akan masa lampaunya
dapat diibaratkan seperti mereka yang sakit jiwa (Kartodirdjo, 1993). Kedua ungkapan
tersebut benar adanya. Seperti yang disebutkan Sartono, bahwa mereka yang lupa akan
masa lampaunya itu telah kehilangan identitas dan oleh karena itu dapat membahayakan
masyarakat di sekitarnya. Hal itu disebabkan karena kelakuannya yang mungkin sudah
tidak menentu dan terlepas dari norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Peristiwa yang terjadi adalah sebuah perubahan
dalam kehidupan manusia. Sejarah mempelajari aktivitas manusia dalam konteks waktu.
Perubahan yang terjadi pada masa lalu mempengaruhi kehidupan masa kini. Perubahan
tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, politik, ekonomi,
dan budaya. Masa lalu merupakan masa yang telah dilalui oleh suatu masyarakat yang
selalu berkaitan dengan konsep- konsep dasar berupa waktu dan ruang. Berkaitan dengan
peristiwa sejarah yang merupakan perubahan dalam kehidupan manusia di masa lalu.
Dewey (1959) menganjurkan bahwa dalam penulisan sejarah harus menulis masa lampau
dalam kaitannya dengan masa sekarang. Sejarah harus bersifat instrumental dalam
memecahkan masalah masa kini atau sebagai pertimbangan program aksi di masa yang
akan datang. Dengan kata lain Dewey, menyarankan bahwa sejarah harus dapat memecahkan
masalah sosial yang aktual yang tengah dihadapi oleh sebuah bangsa.
Apa
saja Ide sebagai Penentu Sejarah? Marxisme, yang kita kenal sebagai materealisme
(historical materialisme), ada anggapan bahwa yang mengubah sejarah, masyarakat
dan bangsa bukanlah ide atau gagasan tetapi teknologi, stuktur ekonomi atau penggunaan
alat-alat produksi. Marx membagi stuktur masyarakat dalam dua bagian: suprastruktur
dan infrastuktur. Suprastruktur adalah bagian yang soft dari sebuah kebudayaan,
sedangkan infrastruktur adalah bagian yang hard. Perbandingan antara unsur dalam
kebudayaan bisa disamakan dengan software dan hardware yang terdapat pada komputer.
Software adalah peralatan komputer itu sendiri. Begitu juga dalam kebudayaan. Yang
dibedakan antara program kebudayaan (software) dan kebudayaan itu sendiri (hardware).
Yang termasuk infrastruktur suatu kebudayaan,
misalnya, struktur ekonomi atau teknologi kebudayaan iti sendiri; sedangkan suprastrukturnya
adalah ideologi, kepercayaan, agama, ideas, dan lain-lain. Menurut Marx, suprastruktur
ditentukan oleh infrastruktur. Ideologi akan sangat ditentukan oleh ekonomi. Keadaan
ekonomi, misalnya, akan menentukan keadaan kelas; bukan sebaliknya. Agama kita sangat
ditentukan oleh posisi ekonomi kita di tengah masyarakat. Versi-versi keberagamaan
kita sangat ditentukan oleh letak dalam status sosial ekonomi. Apa yang dirumuskan
oleh Marx sebetulnya merupakan antitesis dari apa yang kita bicarakan: bahwa ideas
akan menentukan perubahan.
Kekuatan sejarah akan sangat ditentukan oleh ideas
(gagasan-gagasan). Ideologilah yang akan menentukan perubahan ekonomi, sistem sosial,
dan stuktur politik. Jika ideologi suatu masyarakat berubah, berubah pulalah infrastuktur
masyarakat itu. Berbeda dengan pandangan Marx, teori ini menganggap bahwa ideaslah
yang paling menentukan perubahan sosial. Teori yang sekaligus menjadi kritik terhadap
Marx dikemukakan oleh Marx Weber (Sztompka, 2004).
Suatu masyarakat dikatakan mengalami perubahan
sosial jika sistem sosialnya juga berubah. Jadi, dalam perkembangan masyarakat itu,
individu tidak berperang apa-apa. Mereka hanyalah poin-poin kecil yang digerakkan
oleh sistem sosial, politik, ekonomi. Dulu, para sosiolog melacak perubahan-perubahan
pada masyarakat pada perubahan- perubahan institusi; individu sama sekali tidak
memegang peranan. Sebagai contoh utamanya dalam tesis Marx. Namun, Weber membalikkan
pandangan ini dengan mengatakan bahwa semua perubahan sosial dimulai dari perubahan
tingkah laku manusia. Perubaan dari human action, perubahan dari tindakan-tindakan
manusia yang ada dimasyarakat. Karena itu, banyak ahli menganggapWeber sebagai pendiri
dari apa yang disebut sociologi humanis, sosiologi yang (kembali) menempatkan peranan
manusia dalam perubahan-perubahan sosial. Berbeda dengan Marx, Weber berpendapat
bahwa superstucture, soft belief system, ideology adalah faktor yang sangat aktif
dan efektif dalam mengubah sejarah. Tesis Weber ini terbukti dengan munculnya kapitalisme
(Rahmat, 1999).
Kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang di
tegakkan di atas dasar pencarian keuntungan dan tindakan-tindakan rasional. Kata
Marx Weber, kapitalisme adalah pengantar menuju masyarakat modern. Bersamaan dengan
lahirnya kapitalisme, lahir pula institusi-intitusi dan penguasaan-penguasaan baru
yang independen. Pandangan baru tentang pasar (market) juga mulai muncul dipermukaan.
Menurut Weber, sebagai sebuah sistem sosial, kelahian kapitalisme. Ada sekelompok
orang yang perilakunya berbeda dengna kebanyakan orang pada zaman itu. Kapitalisme
muncul karena sekelompok orang yang di sebut Weber sangat newentrepreneur (pengusaha-pengusaha
baru) melakukan serangkaian tindakan (human action). Tindakan itu didasarkan pada
semangat yang disebut semangat kapitalisme. Semangat kapitalisme terdiri dari tiga
rukun berikut; Motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud atau sederhana
(ascetic orentation), dan semangat misi (ideas of calling).
Tahukan apa makna Great Man Theory dalam Sejarah? Teori tentang great individuals (manusia-manusia
besar yang mengubah sejarah) dikemukakan oleh beberapa orang. Thomas Carlyle (1841),
misalnya, adalah penulis buku Heroes and Hero Worshipers (para pahlawan dan pemujaan
pahlawan). Menurut Carlyle, sejarah adalah biografi manusia besar “history of the
world is the biography of the great man”. Pada salah satu bagian, dia menulis tentang
Rasulullah, The Hero as The Prophet, pahlawan sebagai Nabi. Thomas Carlyle memandang
sejarah sebagai biografi dari manusia-manusia besar. Dia mengatakan, “sejarah
universal merupakan sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan
pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah bekerja di dunia”. Lebih lanjut,
Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia.
Ada tiga macam tipe individu di tengah-tengah
masyarakat (Rahmat, 1999). Pertama, ada ordinary people (manusia-manusia biasa)
seperti kita yang membentuk jaringanjaringan sosial. Masyarakat sebenarnya terdiri
dari sekian banyak ordinary people. Kita tidak bisa memasukkan mereka sebagai individu
besar untuk mengubah sejarah. Kedua, exceptional actors, yaitu tokoh-tokoh yang
memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa berbuat apa saja dan mempunyai kearifan
yang dalam. Mereka bisa memahami apa yang dibutuhkan masayarakat di sekitarnya.
Exceptional actors ini termasuk para nabi, pembaharu, dan tokoh sejarah besar. Mereka
mempunyai sesuatu yang istimewa yang membedakannya dengan manusia yang lain. Tipe
terakhir adalah orang-orang yang berada di antara kedua tipe tadi. Orang seperti
ini tidak mempunyai kebijakan dan pengetahuan seperti yang dimiliki oleh exceptional
actors, tetapi mereka menduduki posisi penting di masyarakat. Karena itu mereka
biasanya disebut holders of exceptional positions. Seseorang, misalnya, yang memiliki
kearifan yang rendah, tiba- tiba menjadi presiden. Maka dia pun akan ikut menentukan
jalannya sejarah dan dapat mempengaruhi proses perubahan perubahan sosial. Bahkan,
sekiranya dia buta huruf seperti seorang kaisar di Afrika, dia dapat menentukan
jalannya sejarah, paling tidak di negerinya sendiri.
Lalu apa yang dilakukan oleh great individuals
itu untuk mengubah sejarah? Ada beberapa type of actions yang dilakukan oleh manusia.
Sebagai anggota masyarakat kita berada dalam sebuah spektrum, dari private actions,
tindakan orang yang mempengaruhi secara pribadi tetapi tidak begitu banyak yang
menimbulkan perubahan sosial, sampai tindakan bersama (collective actions) yang
tidak terorganisasi, biasanya dilakukan dengan cara yang buruk. Demonstrasi-demonstrasi
yang belakangan marak, biasanya hanya bersifat temporer. Kerusuhan-kerusuhan juga
menimbulkan perubahan sosial, tetapi tidak berdampak besar kepada masyarakat sebagai
bangsa. Collective actions ini biasanya dilakukan oleh social movement (gerakan-gerakan
sosial). Tindakan yang lebih bisa mengubah lagi adalah tindakan-tindakan yang terorganisasi,
terencana, dan sudah disiapkan sebelumnya, seperti organizing dan mobilizing. Dalam
istilah Bung Karno, ada yang dikenal dengan pembentukan kekuatan dan pemanfaatan
kekuatan. Ada sebuah organisasi sosial yang mengorganisasi rencana-rencana mereka
membentuk kekuatan dan memanfaatkan kekuatan itu. Tindakan yang paling akhir adalah
tindakan- tindakan politik (political action). Seorang great individuals diukur
pengaruhnya dari seluruh tindakan ini (Sztompka, 2004).
Bagiama Sejarah dalam Pandangan Revolusi? Ketika
seluruh bangsa dilanda krisis, semua orang menuntut perubahan. Makin menderita bangsa
itu, makin ingin perubahan itu segera terjadi. Revolusi muncul sebagai strategi
terbaik. Reformasi dianggap terlalu lamban, sementara perut tidak bisa
menunggu. Bila penyakit sosial seperti korupsi sudah berurat berakar dalam seluruh
tubuh bangsa, kita memerlukan pembedahan total; yakni, revolusi. Ada kerinduan untuk
menyongsong revolusi. Ada kebanggaan dalam gerakan revolusioner. Ada banyak contoh
bangsa-bangsa besar lahir dari puing-puing revolusi. Tetapi, pada saat yang sama,
ada ketakutan akan kedahsyatan revolusi. Bayangan kita tentang revolusi itu ambigu.
Pada satu sisi, revolusi dipandang sebagai pelita harapan, yang membimbing kita
dari kegelapan status quo pada cahaya masa depan. Pada sisi lain, revolusi dilihat
sebagai momok yang mengerikan, bersimbah darah, dan penuh adegan kekerasan (Sztompka,
2004).
Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang
paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah,
membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak
membiarkan apapun seperti sebelumnya; revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman
baru. Pada saat revolusi, masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi
transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan
dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertin ini, revolusi adalah
tanda kesehatan sosial. Karena muatan makna yang sarat ideologis, revolusi sering
dirancukan dengan berbagai cara perubahan sosial lainnya. Revolusi memang perubahan
yang cepat; tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut Sztompka,
paling tidak ada lima ciri yang membedakan revolusi dari jenis-jenis perubahan sosial
lainnya:
1) Revolusi menimbulkan perubahan pada skala yang paling luas; menyentuh semua tahap dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, kepribadian manusia.
2) Pada semua bidang kehidupan ini, perubahannya bersifat radikal, fundamental, mencapai akar atau inti dari konstitusi dan fungsi masyarakat.
3) Perubahan berlangsung dengan sangat cepat, seperti sebuah ledakan dinamika yang terbersit dari arus lamban proses sejarah.
4) Revolusi juga menunjukkan perubahan yang paling kentara; karena itu paling dikenang.
5) Revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang sangat istimewa pada para peserta atau saksi revolusi: semangat yang membara, ledakan mobilisasi massa, optimisme, perasaan perkasa, kegembiraan dalam keikutsertaan pada ‘pesta’ revolusi; aspirasi yang melangit dan utopia masa depan.
Apa yang dimaksud perubahan sosial bisa dilakukan dengan revolusi atau people’s
power? Revolusi atau people’s power merupakan bagian dari power strategy (strategi
perubahan social dengan kekuasaan). Dan revolusi merupakan puncak dari semua bentuk
perubahan sosial. Karena, ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial secara radikal,
massal, cepat, mencolok, dan mengundang gejolak intelektual dan emosional dari semua
orang yang terlibat di dalamnya. Strategi perubahan yang lainnya adalah persuasive
strategy (strategi persuasif). Dalam strategi ini, media massa bisa sangat berperan.
Karena, pada umumnya, strategi persuasif dijalankan lewat pembentukan opini dan
pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa. J.A.C. Brown memasukkan
propaganda dalam strategi persuasif untuk melakukan perubahan sosial (Ritzer,
2003).
Bagaimana Kontinuitas dalam Sejarah? Mempelajari
sejarah, rangkaian peristiwa yang ada merupakan peristiwa yang berkelanjutan. Kehidupan
manusia saat ini merupakan mata rantai dari kehidupan masa lampau, sekarang dan
masa mendatang. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri dan tidak terpisahkan dari
peristiwa lain. Roeslan Abdulgani (1963) menyatakan ilmu sejarah dapat diibaratkan
sebagai penglihatan terhadap tiga dimensi, yaitu penglihatan ke masa silam, masa
sekarang, dan masa depan. Hal ini sejalan dengan Arnold J. Toynbee (2004) yang mengatakan
bahwa mempelajari sejarah adalah mempelajari masa lampau, untuk membangun masa depan
(to study history is to study the past to build the future).
Selain membahas manusia atau masyarakat, sejarah
juga melihat hal lain yaitu waktu. Waktu menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah.
Sehubungan dengan konsep waktu, dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2013) meliputi
perkembangan, keberlanjutan/ kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Semua aspek
itu memberikan pengaruh yang signifikan dalam sejarah, sehingga secara pasti dinamika
perjalanan sejarah sebuah bangsa berlangsung dalam bingkai perkembangan, keberlanjutan/kesinambungan,
pengulangan dan perubahan yang tidak pernah berhenti dalam satu titik atau
pola.
Disebut mengalami perkembangan apabila dalam kehidupan
masyarakat terjadi gerak secara berturut-turut dari bentuk yang satu ke bentuk yang
lain. Perkembangan terjadi biasanya dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks.
Misalnya adalah perkembangan demokrasi di Amerika yang mengikuti perkembangan kota.
Pada awalnya masyarakat di Amerika tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil
itulah tumbuh dewan-dewan kota, tempat orang berkumpul. Dari kota-kota kecil mengalami
proses menjadi kota-kota besar hingga menjadi kota metropolitan. Di sini, demokrasi
berkembang mengikuti perkembangan kota. Kesinambungan terjadi bila suatu masyarakat
baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama. Misalnya pada masa kolonial, kebijakan
pemerintah kolonial mengadopsi kebiasaan lama, antara lain dalam menarik upeti raja
taklukan, Belanda meniru raja-raja pribumi.
Sementara itu disebut pengulangan apabila peristiwa
yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi pada masa berikutnya, misalnya menjelang
presiden Soekarno jatuh dari kekuasaannya pada tahun 1960-an banyak terjadi aksi
dan demonstrasi, khususnya yang dilakukan oleh para mahasiswa. Demikian halnya menjelang
presiden Soeharto jatuh pada 1998, juga banyak terjadi aksi dan demonstrasi. Sedangkan
dikatakan perubahan apabila dalam masyarakat terjadi perkembangan secara besar-besaran
dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan terjadi karena adanya pengaruh dari
luar. Misalnya gerakan nasionalisme di Indonesia sering dianggap sebagai kepanjangan
dari gerakan romantik di Eropa.
Berhubungan dengan konsep keberlanjutan ini lah
dikisahkan kehidupan manusia pada masa lalu. Masa lalu merupakan sebuah masa yang
sudah terlewati. Namun, masa lalu bukanlah suatu masa yang terhenti dan tertutup.
Masa lalu bersifat terbuka dan berkesinambungan sehingga dalam sejarah, masa
lalu manusia bukan demi masa lalu itu sendiri. Segala hal yang terjadi di masa lalu
dapat dijadikan acuan untuk bertindak di masa kini dan untuk meraih kehidupan yang
lebih baik di masa datang (Kuntowijoyo, 2013).






No comments
Post a Comment
Buka Formulir Komentar